Postingan

Menampilkan postingan dari 2011

Bikin tempe

Gambar
Sejak meninggalkan Indonesia bulan September tahun lalu, saya nggak bisa makan tempe. Pertama, karena tempe nggak gampang didapetkan di Jepang. Kalopun ada, harganya mahal... Beberapa potong tempe di Jepang setara dengan harga 1 paket pizza hut ukuran large di Indonesia. Jadi, di Jepang, kalo di meja makan  setiap hari masakah dengan bahan utama tempe, berarti si empunya rumah boleh dibilang orang kaya. Kami agak nggak tega kalo mau beli tempe di Jepang (ya nggak tega belinya, ya nggak tega makannya). Hingga beberapa minggu lalu (yang bertepatan dengan musim dingin), saya kepikiran bikin tempe sendiri. Masak ya orang Indonesia nggak bisa bikin tempe. Saya sempet surfing di Internet, nyari info gimana cara bikin tempe. Inti pembuatan tempe rata-rata sama. Bahan utama adalah kedelai kering (bukan jagung). Kedelai harus ditelanjangi dan dibelah dua. Cara paling gampang untuk menelanjangi kedelai adalah direbus terlebih duu sampe empuk. Cara tradisional adalah dengan direndam di

Chicago Trip

Gambar
Chicago, 27 Nov - 4 Des 2011. Just a simple note about my first trip to the US. First of all, saya sengaja memilih tinggal di hotel yg jauuuh dr tempat seminar. Hari pertama tiba di bandara O'Hare, Chicago, saya memutuskan beli tiket kereta + bus terusan (Pass card) yang valid selama 7 hari seharga $28. Artinya saya bisa kemanapun di pelosok Chicago menggunakan tiket ini. Keputusan yang saya nobatkan sebagai keputusan terbaik sepanjang perjalanan saya di Amerika. Dari hotel ke tempat seminar, berjarak 2 jam (yg ternyata takes 3.5hrs on the first day)... Rutenya 2 kali pindah kereta dan 1 kali naik bus (plus jalan kaki beberapa puluh meter). Kok milih yang jauh gitu? Perjalanan yg jauh (saat naik kereta ato bus), membuat saya bisa lbh paham budaya org2 lokal (walopun artinya saya harus bangun jam 5 pagi untuk bisa tiba di tempat seminar tepat waktu). Pengalaman berinteraksi dgn org2 lokal, tidak akan bisa saya dapatkan seandainya jarak hotel ke tempat seminar bs ditempuh dgn

First fruit

Jadwal nge-lab itu sama kayak jam kerja, standardnya 8 jam sehari, 5 hari seminggu. Tapi bisa sibuk banget sehingga seringkali lebih dari 40 jam per minggu (you know, this is Japan, where hardworking is valued more than anything). Contoh kesibukan yang sampe bikin menyita waktu misalnya surfing internet, nyari2 film baru, facebook-an, twitter-an, ato nge-blog. Ah, nevermind, those activities do really time consuming... Ketika mau berangkat ke Jepang, saya selalu mikir kepingin bisa punya part-time job di Jepang. Simply karena beasiswa yang saya dapetkan nggak cukup... Nggak cukup buat beli mansion, BMW, dan bangun pabrik. That's why saya pingin dapet part-time job. Unfortunately, karena kesibukan di lab tadi, selama setahun di Jepang saya nggak (bisa) punya part-time job walopun banyak tawaran part-time diiklankan di majalah2. Mulai dari kerja yang butuh sedikit tenaga seperti di restoran, supermarket sampe kerjaan yang butuh tenaga besar seperti di konstruksi, pabrik, angkat2

Saintis vs artis

Suatu ketika, seorang peraih nobel Fisika dari Jepang, Prof. Koshiba, diinterview oleh NHK. Salah satu pertanyaan yang menarik adalah ketika beliau ditanya, mana yang lebih jenius, fisikawan Albert Eintein atau musisi Mozart. Setelah berpikir sejenak, Prof. Koshiba menjawab bahwa yang lebih jenius adalah musisi Mozart. Alasannya  Albert Einstein hanya merumuskan apa yang sudah ada di alam. Seandainya relativitas tidak ditemukan oleh Albert Einstein, maka somehow, fisikawan lainlah yang akan merumuskan... begitu menurutnya. Saya setuju. It's just a matter of time. Sama halnya dengan penemuan bola lampu oleh Thoma Alva Edison. Saya sering mendengar kelakar bahwa kalau tidak ada Thomas Alva Edison, maka dunia saat ini akan menjadi dunia yang gelap... Mungkin juga, tapi saya lebih cenderung pada kemungkinan bahwa orang lain lah yang akan menemukannya lampu pijar seandainya Edison menyerah pada kegagalannya. Berbeda dengan apa yang dilakukan oleh musisi Mozart yang mengkomposisi pul

Pak Dengklek dan mimpinya

Pak Dengklek dulu adalah peternak bebek. Bebeknya ratusan. Sekarang, Pak Dengklek bukan lagi peternak bebek. Tahun lalu, Pak Dengklek melanjutkan studinya di Jepang, dia mengambil riset tentang teknologi medis bebek (kelak, sekembalinya dari Jepang, Pak Dengklek berharap agar tidak banyak bebek yang mati sia2 karena peralatan medis yang tidak menunjang). Setahun di Jepang, Pak Dengklek merasa terkagum2 dgn budaya, lingkungan, kehidupan sosial, dan teknologi yang ada. Sebagian besar masyrakat yg ditemui Pak Dengklek selama ini benar2 ramah dan sopan. Kata2 seperti "maaf merepotkan", "tolong ya...", "terima kasih", "ah, tidak apa2" sangat sering terdengar dlm percakapan sehari2, bahkan untuk hal yg remeh-temeh. Bahasa tubuh menganggukkan kepala dan tersenyum tanda respek antar kolega juga menjadi bagian yg umum dlm kehidupan sehari2. Transportasi begitu teratur. Selama hidup di Jepang, Pak Dengklek hanya 2 kali mendengar suara klakson mobil

Gurauan (nggak) lucu

Ada pelajaran penting yang saya dapatkan ketika masih kelas 2 SMP. Waktu itu pelajaran Bahasa Indonesia. Topiknya pantun. Di buku teks ada sebuah contoh pantun jenaka yang sampai sekarang saya ingat: Elok rupanya pohon belimbing Tumbuh dekat pohon mangga Elok rupanya berbini sumbing Biar marah tertawa juga Bapak guru kami, (Alm) Pak To, mengatakan bahwa pantun ini contoh yang jelek. Karena saya suka dengan bahasa, saya tertantang untuk mengamat-amati di mana letak jelek-nya pantun ini. Secara aturan, pantun di atas mengikuti kaidah pantun yang berlaku, 2 sampiran dan 2 isi serta memiliki rima a-b-a-b. Sepertinya tidak ada masalah dengan pantun itu. Ternyata masalahnya bukan pada kaidah pantun-nya, tapi pada isi pantun-nya. Bapak guru kami mengatakan bahwa isi pantun ini tidak sopan karena menghina orang sumbing. Beliau mengatakan, orang memiliki kekurangan, tapi malah dijadikan bahan gurauan itu tidak sopan. Saya setuju. Hari itu saya belajar pelajaran penting - dan berjan

The X Factor Judges

Saya bukan TV junkie - yang menghabiskan puluhan jam per minggu di depan TV. Tapi ada beberapa TV show yang (sekarang) saya gemari. Bukan cuma suka, tapi really... really love. Untuk acara TV Indonesia, saya suka Stand up comedy. Ada beberapa comedian favorit saya yang joke-nya cerdas, nggak lebai atopun maksa. Ernest Prakasa dan Raditya Dika adalah beberapa di antaranya. Dulunya saya suka American Idol, tapi sejak juri eksentrik, Simon Cowel, nggak lagi jadi juri di American Idol, saya jadi kurang mengikuti American Idol. Daya tariknya jauh berkurang. Sebagai gantinya adalah The X Factor (US), yang mana si Simon is (finally) back. The show was broadcasted last September. It's just like what I've expected! Great show! Inti acaranya tetap singing competition, tapi The X Factor dikemas berbeda dengan American Idol. Siapapun boleh ikut. Pria, wanita, usia 17 tahun ato 71 tahun, solo, ato group. Nggak ada batasan sama sekali seperti di American Idol. Jurinya ada 4 orang, si &

Kehilangan muka

Kehilangan muka adalah istilah untuk malu. Entah kenapa bisa diistilahkan dengan "kehilangan muka". Mungkin ketika seseorang begitu malu terhadap terhadap suatu kejadian atau terhadap orang lain, dia jadi tidak berani menatap atau berhadapan face-to-face dengan orang yang bikin dia malu. Karena muka-nya tidak berani dihadapkan, maka dia disebut "kehilangan muka".... Whatever. Di sini, saya menemukan bahwa orang-orang Jepang, sangat... sangat... tidak mau menghilangkan muka orang lain - dan sebaliknya. Minggu lalu, saya mengantar istri ke dokter gigi. Dokternya masih (nampak) sangat muda dan ramah. Ketika menjalani perawatan, dia memberikan kepada kami secarik kertas dengan gambar dan tulisan kanji di dalamnya... Isinya kurang lebih menjelaskan bakteri-bakteri yang ada di dalam mulut/gigi dalam bahasa orang awam. Tahu bahwa kami adalah orang asing, beliau berusaha menjelaskan kondisi gigi secara perlahan-lahan dalam bahasa Jepang yang sederhana. Namun tetap saj

Indonesia negara berkembang, so what?

Dulu (entah saya masih SMP atau SMA), di pelajaran geografi, sering disebut-sebut bahwa Indonesia adalah negara berkembang, sedangkan Amerika adalah negara maju. Tentu, saat itu saya tidak bisa benar-benar membayangkan apa beda negara berkembang dengan negara maju. Dalam kerangka pikir seorang anak yang berusia belasan tahun, negara maju adalah negara yang teknologinya maju. Banyak mobil, banyak pabrik, banyak barang-barang canggih. Sekarang, saya tahu bedanya dengan lebih jelas (setelah merasakan hidup di negara maju). Salah satu beda yang menarik antara negara berkembang dengan negara maju adalah sistem ekonomi. Saya bukan ahli ekonomi. Tapi saya mengamati, di negara maju, sistem ekonomi sudah stabil, sehingga siapapun yang mau bekerja keras, maka standard kehidupannya akan meningkat. Dia dapat menikmati apa yang bisa dinikmati "orang kaya". Contoh, di Jepang banyak sekali lowongan kerja part-time. Di stasiun, majalah yang memuat ratusan lowongan kerja part-time (ataupu

Going to Chicago

Not a really good time for blogging, tough.... but I blog anyway. Hal apa yang menyenangkan bagi seorang saintis? Buat saya, hal yang menyenangkan ketika hasil penelitiannya diakui oleh komunitas ilmuwan di bidang yang sama. Dapet pengakuan bahwa memang hasil penelitian tersebut penting, berguna, dan perlu disebarkan agar dapat disitasi (atau dipakai sebagai landasan penelitian berikutnya). Dengan demikian, ilmu pengetahuan akan semakin berkembang dan semakin lengkap (walopun saya nggak yakin juga apa bisa manusia melengkapi seluruh ilmu pengetahuan yang ada). Nah, beberapa bulan lalu (iya, sudah agak lama), saya dapet konfirmasi bahwa hasil penelitian kami (jamak, saya nggak berani mengklaim hasil penelitian "saya") diterima dan kami diundang untuk mempresentasikan di RSNA 2011 annual meeting bulan November mendatang yang kali ini diadakan di Chicago. RSNA kepanjangan dari Radiology Society of North America, atau komunitas radiolog amerika (walopun ada kata radio, tapi m

Sarasehan ala Jepang

Minggu lalu, di lab ada acara training camp ato istilah aslinya adalah Gassyuku (合宿). Kalo dicari di kamus, arti yg muncul adalah training camp. Tapi nggak bener2 pas, karena yg kami lakukan bukan camp atau kemah di hutan. Mungkin istilah yang paling mendekati dalam bahasa Indonesia adalah "sarasehan". Kami, seluruh anggota lab, pergi ke Nagoya, 4 jam perjalanan dari Tokyo. Menginap selama 3 hari 2 malam di sebuah penginapan tradisional. Penginapannya sangat alami. Di depan penginapan, ada danau yg luas dan disekeliling nampak hijaunya pengunungan. Seperti budaya orang Jepang pada umumnya, acaranya tentu nggak cuman duduk2 menikmati pemandangan alam ato main2 sepanjang hari. Anggota lab (yang berjumlah 14 orang) dibagi jadi 3 tim yg diberikan suatu topik untuk dipresentasikan dan didiskusikan dalam 2 sesi. Tapi never mind tentang presentasi dan diskusi itu... Ada banyak pelajaran yang saya dapatkan selama Gasyuku, yang merupakan acara tahunan lab ini: Untuk pertama ka

Perjalanan Menempuh Ph. D

Bukan, bukan kisah tentang saya. Ini tentang kolega saya. Di dunia akademik, beliau lebih senior dari saya - dan tentu lebih bijak dibandingkan saya yang seringkali emosional. Dari beliau saya banyak belajar tentang dunia akademik. "(Dosen) Kalau sudah (lulus) S3, sudah tenang Pak..." - begitu nasihat beliau yang sering disampaikan untuk memotivasi saya studi lanjut. Tentu tenang yang dimaksud adalah bisa mengajar dan melakukan penelitian serta publikasi - sehingga cepat atau lambat, akan mencapai jenjang guru besar atau profesor (yang merupakan jenjang tertinggi para akademisi). Sesuai undang-undang kependidikan yang berlaku, salah satu syarat untuk mendapatkan jabatan guru besar adalah memiliki gelar S3. Beliau akan segera meninggalkan Indonesia untuk melanjutkan studi ke luar negeri, mengejar gelar Ph. D.  Meninggalkan istri dan anak-anaknya yang masih kecil. Waktu 36 bulan untuk studi lanjut bukan waktu yang pendek. Saya membayangkan, seandainya saya berada di pos

Asosiasi 500 yen

Posting twitter hari ini: "Gaikokujin toroku shoumeisho「外国人登録証明書」- how difficult to read or even pronounce it last year." Facebook memiliki fitur untuk menampilkan status yang kita tulis tahun lalu. Somehow, status tahun lalu ini muncul. It said: "Gaikokujin toroku shoumeisho「外国人登録証明書」 = Alien Registration Card. We simply call it, "KTP"". Saya ingat kenapa menuliskan status ini. Saat itu saya baru beberapa hari tiba di Jepang. Sedang mengurus Alien registration card di kantor kecamatan setempat. Nama resminya adalah gaikokujin touroku shoumeisho. Waktu itu, boro-boro baca... Nginget namanya aja susah banget. Nggak ada asosiasi sama sekali di otak apa arti kata itu. Setahun kemudian, kata itu mudah sekali dilafalkan, bahkan bisa membaca dengan lancar. Banyak asosiasi yang membuat saya dengan mudah mengingat dan membaca karakter-karakter itu. Kata pertama "Gaikokujin" terdiri dari 3 kata, yaitu 外 (gai), 国 (koku), dan 人 (jin). Kata "gai

Antara jenius dan idiot

Kemarin, ‎saya meletakkan salah satu quotation dari Albert Einstein di status Facebook, "Everybody is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid." Artinya kira-kira, "Setiap orang adalah jenius. Tapi kalau Anda menilai ikan dari kemampuannya memanjat pohon, tentu ikan itu akan dianggap sebagai ikan yang bodoh seumur hidupnya." Einstein benar. Semua dari kita adalah jenius pada bidang tertentu. Dan dengan rendah hati, mari kita akui bahwa kita juga idiot pada bidang tertentu. 

Ulang tahun

Usianya sudah nggak muda lagi untuk sekedar mengingat-ingat sebuah tanggal ulang tahun. Memanfaatkan teknologi untuk membuat sebuah reminder tanggal ulang tahun juga bukan hal yang mudah baginya. Mungkin tanggal ulang tahun saya dicatatnya di sebuah notes. Atau buku catatan tempat beliau mencatat hal-hal yang penting. Atau bisa juga ditulis di kalender - diberikan tanda tebal supaya tidak lupa ketika hari H itu tiba. Entah bagaimana caranya. Hari itu, pagi-pagi benar beliau menelepon untuk memberikan ucapan selamat ulang tahun kepada saya. Saya tahu sekali, ucapan ulang tahun itu diberikan dengan cinta. Dengan doa tulus supaya saya berhasil. Setulus ketika beliau berdoa untuk anak-anaknya. Terima kasih mama. Terima kasih papa. Terima kasih sudah menjadi teladan dan membimbing Theresia sehingga bisa menjadi istri yang baik untuk saya. Terima kasih sudah senantiasa mendoakan kami di sini. Saya bersyukur bisa menjadi bagian dari keluarga besar papa dan mama. Kiranya Tuhan yang

Nikmatilah pagi

Hari ini, isi twitter saya adalah: "Pukul 7 adalah batas psikologis antara pagi dan siang." Quote-nya saya dapet dari seorang dosen di Indonesia, Pak A. S. Nugroho. Yang dimaksud tentu pukul 7 pagi, bukan pukul 7 malam. Implikasinya, kalau masih pukul 6.59 berarti masih pagi, sedangkan pukul 7.01 sudah disebut siang. Bangun setelah lewat pukul 7, artinya kesiangan. Buat saya, pagi hari selalu menyenangkan (perkecualian ketika malamnya harus lembur sampai dini hari). Udara pagi selalu bersih dan segar. Di manapun saya berada, pagi hari selalu berhasil menampilkan pemandangan terbaik tempat tersebut. Siang hari, pemandangan cenderung nampak panas/terik, sedangkan malam hari cenderung nampak gelap. Pagi harilah yang selalu berhasil memberikan pemandangan terbaik - entah di pantai, di gunung, di kebun ataupun di rumah. Nikmatilah pagi selagi bisa. Nikmatilah selama dan sebanyak mungkin. Karena sekali terlewat, kita harus menunggu keesokan hari untuk bisa kembali menikmatiny

#nunggupengumuman

Hari ini isi twitter saya: "you are doing okay..." kata sensei setelah ujian masuk program doktor. #nunggupengumuman Ceritanya, saya kemarin ujian masuk program doktor untuk periode April 2012. Ujiannya, sama seperti sebelumnya, oral interview dan presentasi proposal penelitian. Karena sifat ujiannya formal, diuji di depan 4 orang profesor, maka saya harus mengenakan pakaian formal abad 21, yaitu jas (itulah sebabnya saya mengenakan sabuk sehingga tahu bahwa saya mengenakan sabuk di lobang yang sama sejak pertama beli membeli sabuk 15 tahun yang lalu). Secara nggak pantes kalo pake jas tapi nggak bersabuk. Presentasi 20 menit. Lalu sesi tanya jawab. Seorang profesor yang masih (nampak sangat) muda memberikan pertanyaan pertama. Bahasa Inggris-nya bagus banget. Nyaris tanpa aksen Jepang. Jarang sekali ketemu langsung dengan orang Jepang yang Bahasa Inggrisnya bagus (mungkin dia lulusan dari English speaking country). Sensei saya aja, kalo ngomong Inggris masih beraksen Je

Lobang yang sama

Hari ini isi twitter saya: "mengenakan sabuk di lobang yang sama sejak 15 tahun yang lalu. #bodyfit #sabuknyaJadulAmat" Iya. Sejak pertama beli sabuk 15 tahun yang lalu sampai sekarang, saya mengenakan sabuk di lobang yang sama. Sebuah lobang tambahan karena memang lobang terakhir masih terasa longgar. Harga sabuknya bisa ditebak dengan sedikit petunjuk bahwa saat membeli sabuk itu saya masih kuliah di tahun ke-2 (seberapa mahal sih harga sabuk yang bisa dibeli oleh mahasiswa tahun kedua?) Dari isi twit itu, ada banyak konklusi yang bisa muncul. Pertama, issue metabolisme tubuh. Fluktuasi berat badan saya sejak 15 tahun yang lalu, nggak banyak berubah. Entah pola makan apapun yang saya terapkan, fluktuasi berat badan nggak lebih dari +/- 3Kg - yang berakibat pada lingkar perut yang (kurang lebih) selalu sama. Saya bisa makan sebanyak yang saya mau (atau nggak makan selama yang saya mau) tanpa harus repot memikirkan berat badan. (Berani bertaruh, pasti most of the girls wi

Endonesha - Story behind independence day

This is a story of great country named The Republic of Endonesha. A beautiful country located somewhere in Timbuktu. Hit almost 200million population, this country becomes a living legend. True living legend till now, but very few people know the history behind the independence day of this great country. Many blood (and sweat) were shed at that moment. Here's the story. Endonesha - What the Endonesha's historian never tell you. Part I - Rapat Penculikan Jam 10 pagi, 14 Agustus 1945 TW (Tahun Timbuktu). Lokasi: Rengasdengklek, Kerawang Prolog: Saat itu Endonesha masih terjajah dan belum menjadi Republik. Kondisi ekonomi morat marit, tiga tahun bangsa itu dijajah bangsa Jpang. Dalam tiga tahun itu, Sekarno, pemimpin bangsa itu, telah melakukan banyak negosiasi dengan bangsa Jpang agar Endonesha bisa mengatur sendiri kehidupan bernegaranya. Bangsa Jpang menjanjikan bahwa Endonesha segera diberi kemerdekaan. Bahkan agar lebih meyakinkan, Bangsa Jpang membentuk PPKE (Pan

Pergi ke kolam renang

Gambar
Semakin lama tinggal di Jepang, semakin saya menyadari betapa hidup di Indonesia harus disyukuri. Barusan kami pergi ke kolam renang. Untuk berenang tentunya, bukan untuk mendaki gunung. Yang disebut sebagai kolam renang di Jepang (pool atau dalam lidah jepang menjadi pu-ru) nggak sama dengan kolam renang di Indonesia. Di Indonesia, kita bisa ke kolam renang anytime sepanjang tahun, 7 hari seminggu buka terus. Kalo seneng dengan suasana yang rame2, ya pergi di musim liburan pas hari raya Idul Fitri (yang sebentar lagi dirayakan) ato akhir tahun. Kalo kayak saya, tipe yang seneng suasana yg sepi, lengang, nggak banyak orang, ya pergi pas hari kerja di luar musim liburan. Di Jepang, mengingat fakta bahwa berenang jelas bukan ide yang baik ketika musim dingin atau ketika suhu mencapai 5 derajat celcius, maka membuka kolam renang untuk publik di musim dingin, jelas hanya menghabiskan biaya operasional. Nggak kebayang para life-guard bercelana renang merah dengan perut six-pack yg berja

Nenek dan Jam di stasiun

Gambar
Jam di stasiun Inage (stasiun kereta terdekat dari tempat kami) adalah jam analog, ada jarum pendek dan jarum panjang, warna angkanya hitam dan tebal-tebal (mirip dengan jam2 kuno di stasiun2 Indonesia). Tergantung di atas platform stasiun. Setiap penumpang yang masuk ke dalam platform, dapat melihat dengan jelas jam tersebut. Setahu saya, jam tersebut tidak pernah berhenti, jarumnya selalu berada di angka yang tepat. (Di stasiun kota Malang, saya beberapa kali mendapati jamnya stasiun mati) Kemarin saya berjalan di sekitar stasiun untuk naik bis ke kolam renang. Istri saya sedang menuju kantor stasiun dan menanyakan kepada petugas bis mana yang mesti dinaiki. Di tengah hiruk pikuknya stasiun, tiba-tiba seorang nenek memanggil saya. Saya adalah orang paling dekat. Nenek itu agak bungkuk, membawa tongkat untuk membantunya berjalan, rambutnya sudah memutih. Tas hitam yg dibawanya sudah nampak kumal. Saya menghentikan langkah saya. Lalu berkonsentrasi dengan apa yg ditanyakan. "k

Pertama kali

Ada banyak pertama kali yang saya alami dalam minggu ini. Pertama kali naik shinkansen (kereta cepat). Tujuannya tokyo-nasushiobara yang jaraknya 157 km dan ditempuh dalam waktu kurang dari 1 jam. Seperti halnya kereta di Jepang, shinkansen juga super tepat waktu. Di tiket tertulis jam 11.20 berangkat, dan tepat jam 11.20 (waktu stasiun) kereta bener2 jalan. Karena nggak ada pedagang asongan yg jual tahu sumedang, nasi campur, ato the kotak, maka penumpang bisa beli bento sblm masuk kereta untuk dimakan di dalam kereta. Istilahnya eki-ben. Harga sekotak bento rata2 1000 yen (nggak perlu diitung kursnya dlm rupiah, karena nafsu makan bisa tiba2 ilang). Pertama kali melakukan kunjungan ke pabrik Toshiba cabang Nasushiobara yg khusus memproduksi alat2 medis, seperti CT scan, MRI, dan kawan2nya. Saya berkesempatan ngeliat dapurnya pabrik, bagaimana alat2 medis dirakit, mulai dr produksi komponen yg kecil2 sampe yg gede2. Dari sinilah alat2 medis bermerk Toshiba di-shipping ke seluruh d

Antara Nasushiobara dan Tokyo

Nasushiobara, tempat diadakannya JAMIT (The Japanese Society of Medical Imaging Technology) annual meeting 2011, adalah kota kecil. Jaraknya dari Tokyo sekitar 157 Km. Kota ini, kalau di Indonesia, mungkin seperti kota Batu. Suasana kota lengang, tidak banyak kendaraan lalu lalang. Populasi penduduk tercatat hanya 117ribu (bandingkan dengan Malang yang mencapai 800rb jiwa). Sepanjang perjalanan ke tempat conference banyak keliatan sawah-sawah atau rumah-rumah tak bertingkat. Pemandangan semacam ini nyaris tidak bisa ditemukan di Tokyo. Gedung2 tinggi dan minimarket yg hampir ada di setiap blok kota Tokyo atau Chiba, jarang sekali ditemui di Nasushiobara. Baru ada 1 dalam jarak 2-3km. Ritme kehidupan rasanya berjalan dengan lambat. Saya suka kota kecil seperti ini, tenang, damai, dan masyarakatnya nampak bersahabat. Ketika melihat hamparan sawah dalam perjalanan, saya ingat pelajaran geografi waktu SMP. Katanya, Jepang adalah negara dgn sumber daya alam terbatas. Waktu itu saya nggak be

Ngomong-ngomong tentang Kanji... (Part 1)

Gambar
Nah, ngomong-ngomong tentang karakter Kanji... saya terobsesi dengan karakter-karakter itu. Dulu, (pas masih nggak kepikiran bakal sekolah di Jepang), saya sudah tertarik. Gara-garanya sederhana. Beberapa karakter itu ternyata mewakili gambar. Misalnya karakter "gunung" (山) yang dibaca "yama", karakter itu sebenernya adalah gambar gunung yang disederhanakan (3 buah gunung, lalu dari puncaknya ditarik garis vertikal), karakter "pohon" (木) dibaca "ki", juga adalah gambar pohon... Garis horisontal mewakili tanah, di bawah tanah ada akarnya - dan tentu batang pohon muncul di atas tanah. Karakter "manusia" (人) dibuat simple, tubuh dan dua kaki. Nah, yang lebih menarik lagi, ketika dua karakter kanji disatukan untuk membentuk karakter baru. Misalnya karakter "manusia" (人) + "pohon" (木) = 休. Kira-kira ngapain kalo manusia deket2 dengan pohon? Kalo karakter ini ditulis di Indonesia, mungkin artinya adalah pipis (karena di In

Bukan bintang pelajar

Ada anak-anak yang memang terlahir sebagai bintang pelajar. You know, sejak TK mereka sudah menunjukkan ke-"bintang-pelajaran"nya. Mampu menggunting dan melipat kertas dengan rapi, mampu menulis angka dan huruf dengan baik, makan tanpa cemot, baju nampak rapi, bisa mengeja abjad dengan jelas dsb. Pas SD mereka adalah anak-anak yang selalu mengerjakan pe-er dengan lengkap, mendengarkan guru dengan baik, rata-rata nilai ulangannya 8, 9 atau 10, selalu menjadi contoh bapak dan ibu guru ketika membahas bagaimana seorang siswa yang baik... Waktu SMP atau SMA mereka selalu berada di peringkat 5 besar, pe-ernya selalu jadi bahan contekan anak-anak lain, jawaban ulangan sering dijadikan kunci jawaban oleh bapak/ibu guru, dsb. Pas kuliah, dia seolah-olah tahu persis apa yang dimaui oleh si dosen, memberikan jawaban yang jelas, mengerjakan dan mengumpulkan tugas dengan tepat waktu (no matter semepet apapun deadline-nya), lulus dengan IPK di atas 3.5 lebih atau malah cumlaude... Pendekn

Ber-asosiasi

Ketika belajar bahasa (Jepang), saya menemukan bahwa bahasa adalah tentang asosiasi. Kalo kita baca/lihat suatu kata yang nggak kita ketahui, artinya dalam otak kita kata tersebut nggak punya asosiasi apapun. Akibatnya kita nggak ngerti. Misalnya, ada kata karakter 船. Bagi yang belom pernah belajar kanji (ato Hanzi) sama sekali, pasti nggak ada sebuah asosiasi pun yang muncul dalam pikirannya. Tapi, bagi yang udah pernah belajar karakter kanji (ato hanzi), paling nggak akan punya asosiasi, ada karakter angka "8" (八), ada karakter "mulut" (口) dan ada karakter "wadah" (舟). Arti karakter itu adalah "kapal/bahtera" (kemungkinan karakter ini diambil dari kisah banjir besar jaman Nabi Nuh, ketika hanya ada 8 orang dalam satu bahtera, nabi Nuh dan istrinya, dan 3 orang anaknya beserta istrinya). Di Jepang, karakter tersebut dibaca "fune". Waktu pertama dengar kata "fune" tidak ada asosiasi apapun dalam otak saya. Blank sama sekali. T

Makanya...

Kata "makanya..." sering diucapkan tidak pada tempatnya. Ma(ng)kanya, lah wong naruh hape kok sembarangan. Ilang kan sekarang. Ma(ng)kanya, kerja itu yang bener. Kalo udah diomelin sama bos kek gini baru tau rasa kan. Ma(ng)kanya, kalo disuruh makan ya mbok nurut. Kalo sakit gini, sapa juga yang repot. Ma(ng)kanya, belajaaaar yang rajin pas kuliah... ditolak perusahaan baru tau rasa. Ma(ng)kanya, jadi orang jangan bego-bego. Tuh, ditipu orang kan kalo bego. dan berbagai versi "ma(ng)kanya" yang lain yang lebih kejam. Logikanya, kalo orang sampe bilang "makanya..." ke kita (dalam berbagai versi), situasinya adalah kita tertimpa musibah, lalu diolok-olok dan disalah-salahkan karena yang mengolok-olok itu (merasa) paling bener sejagat raya... Dulu, saya sering (ato pernah?) dapet teguran versi "makanya" semacam ini. Entah dari orang tua, kakak, sahabat, teman ato bahkan orang asing. Kalo dapet "makanya" dari orang tua ato sodara, saya mas

'Ohana means family (1st year)

Gambar
'Ohana means family, family means nobody gets left behind. Or forgotten. (Lilo and Sticth, 2002) 3 Juli 2010 tahun lalu, kami menikah - untuk pertama kalinya. Masing-masing dari kami nggak punya pengalaman seperti apa menikah itu. Melihat (bagaimana kehidupan pernikahan kedua orang tua) sudah. Tapi mengalami sendiri seperti apa menjadi suami dan seperti apa menjadi istri, belum. Setiap hari menjadi hari pembelajaran. Menjadi hari untuk lebih menerima dan adjust. Senang menjalani kehidupan pernikahan? Ya, senang. Saya bahagia. Loh, bukannya dengan menikah saya jadi kehilangan (1) kebebasan untuk kelayapan ke mana pun yang saya mau dan pulang jam berapa pun yang saya suka? (2) kebebasan untuk memakai uang seenak udel dan memberi kepada siapapun yang saya mau? (3) kebebasan untuk melakukan apa pun yang saya suka, seperti internet-an seharian penuh, nonton film, menulis apapun, baca buku/belajar sampe dini hari dalam suasana tenang? Iya, hilang. Tapi sudah dig

Kisah Rujak Petis

Gambar
Bulan depan, genap 10 bulan saya di Jepang. Most likely, masih ada 40 bulan lagi yang akan saya lewati di sini. So exciting...dan mulai terbiasa dengan gaya hidup di Jepang yang serba tepat waktu. Ngerti rasanya ditinggal ditinggal kereta gara-gara telat beberapa detik. Kalo di Indonesia, ada angkot yang mau jalan, kita masih bisa lari2 ngejar angkotnya... Dan, para penumpang di dalamnya biasanya akan ber-baik hati untuk menyuruh sopir berhenti agar kita bisa naik. Juga pas angkot nggak mau jalan2 karena nunggu penuh, penumpang juga nggak protes. That's the way it is... Kalo mau ya monggo naek, kalo nggak... ya beli aja kendaraan pribadi. Di sini, makan di depot ato restoran harus mengikuti aturan baku yang ditetapkan. Sebagian restoran, di dekat pintu masuk dilengkapi dengan vending machine yang ada gambar2 makanan yang siap dipilih. Pembeli tinggal masukkan uang, dan pencet gambar/tombol sesuai dengan makanan yang mau dibeli. Vending machine akan mengeluarkan selembar tiket yang

(Kisah) Belajar Bahasa (Jepang) - part 5

Suatu hari, ketika belajar Bahasa Jepang, saya dapet pewahyuan. Bukan pewahyuan tentang akhir jaman. Bukan juga pewahyuan tentang siapa presiden Indonesia 2014. Pewahyuan-nya simple, belajar bahasa Jepang tanpa belajar Kanji, ibarat makan rawon tanpa kuah. Ada yang kurang. Tapi sebaliknya, kalo belajar Kanji doang tanpa belajar (grammar) bahasa Jepang, ibarat makan rawon tapi kuah doang. Masih enak - apalagi kalo kuahnya kuah rawon Nguling. Pewahyuan ini, bikin saya memutuskan untuk secara serius belajar Kanji. Jumlah karakter Kanji standard yang dipakai di Jepang ada 2.136 biji (joyo Kanji istilahnya). Artinya 99% tulisan dalam Bahasa Jepang, dapat dipastikan menggunakan karakter yang termasuk dalam 2.136 itu. Kalo kita hafal/ngerti arti 2.136 kanji tersebut, berarti mau baca tulisan apapun, pasti secara garis besar bisa ngerti. Tapi kalo nggak hafal satupun, walopun grammar Bahasa Jepang-nya udah tingkat dewa-dewi, baca tulisan apapun dijamin nggak bisa. Jadilah 5 bulan lalu, saya me