Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2011

Ulang tahun

Usianya sudah nggak muda lagi untuk sekedar mengingat-ingat sebuah tanggal ulang tahun. Memanfaatkan teknologi untuk membuat sebuah reminder tanggal ulang tahun juga bukan hal yang mudah baginya. Mungkin tanggal ulang tahun saya dicatatnya di sebuah notes. Atau buku catatan tempat beliau mencatat hal-hal yang penting. Atau bisa juga ditulis di kalender - diberikan tanda tebal supaya tidak lupa ketika hari H itu tiba. Entah bagaimana caranya. Hari itu, pagi-pagi benar beliau menelepon untuk memberikan ucapan selamat ulang tahun kepada saya. Saya tahu sekali, ucapan ulang tahun itu diberikan dengan cinta. Dengan doa tulus supaya saya berhasil. Setulus ketika beliau berdoa untuk anak-anaknya. Terima kasih mama. Terima kasih papa. Terima kasih sudah menjadi teladan dan membimbing Theresia sehingga bisa menjadi istri yang baik untuk saya. Terima kasih sudah senantiasa mendoakan kami di sini. Saya bersyukur bisa menjadi bagian dari keluarga besar papa dan mama. Kiranya Tuhan yang

Nikmatilah pagi

Hari ini, isi twitter saya adalah: "Pukul 7 adalah batas psikologis antara pagi dan siang." Quote-nya saya dapet dari seorang dosen di Indonesia, Pak A. S. Nugroho. Yang dimaksud tentu pukul 7 pagi, bukan pukul 7 malam. Implikasinya, kalau masih pukul 6.59 berarti masih pagi, sedangkan pukul 7.01 sudah disebut siang. Bangun setelah lewat pukul 7, artinya kesiangan. Buat saya, pagi hari selalu menyenangkan (perkecualian ketika malamnya harus lembur sampai dini hari). Udara pagi selalu bersih dan segar. Di manapun saya berada, pagi hari selalu berhasil menampilkan pemandangan terbaik tempat tersebut. Siang hari, pemandangan cenderung nampak panas/terik, sedangkan malam hari cenderung nampak gelap. Pagi harilah yang selalu berhasil memberikan pemandangan terbaik - entah di pantai, di gunung, di kebun ataupun di rumah. Nikmatilah pagi selagi bisa. Nikmatilah selama dan sebanyak mungkin. Karena sekali terlewat, kita harus menunggu keesokan hari untuk bisa kembali menikmatiny

#nunggupengumuman

Hari ini isi twitter saya: "you are doing okay..." kata sensei setelah ujian masuk program doktor. #nunggupengumuman Ceritanya, saya kemarin ujian masuk program doktor untuk periode April 2012. Ujiannya, sama seperti sebelumnya, oral interview dan presentasi proposal penelitian. Karena sifat ujiannya formal, diuji di depan 4 orang profesor, maka saya harus mengenakan pakaian formal abad 21, yaitu jas (itulah sebabnya saya mengenakan sabuk sehingga tahu bahwa saya mengenakan sabuk di lobang yang sama sejak pertama beli membeli sabuk 15 tahun yang lalu). Secara nggak pantes kalo pake jas tapi nggak bersabuk. Presentasi 20 menit. Lalu sesi tanya jawab. Seorang profesor yang masih (nampak sangat) muda memberikan pertanyaan pertama. Bahasa Inggris-nya bagus banget. Nyaris tanpa aksen Jepang. Jarang sekali ketemu langsung dengan orang Jepang yang Bahasa Inggrisnya bagus (mungkin dia lulusan dari English speaking country). Sensei saya aja, kalo ngomong Inggris masih beraksen Je

Lobang yang sama

Hari ini isi twitter saya: "mengenakan sabuk di lobang yang sama sejak 15 tahun yang lalu. #bodyfit #sabuknyaJadulAmat" Iya. Sejak pertama beli sabuk 15 tahun yang lalu sampai sekarang, saya mengenakan sabuk di lobang yang sama. Sebuah lobang tambahan karena memang lobang terakhir masih terasa longgar. Harga sabuknya bisa ditebak dengan sedikit petunjuk bahwa saat membeli sabuk itu saya masih kuliah di tahun ke-2 (seberapa mahal sih harga sabuk yang bisa dibeli oleh mahasiswa tahun kedua?) Dari isi twit itu, ada banyak konklusi yang bisa muncul. Pertama, issue metabolisme tubuh. Fluktuasi berat badan saya sejak 15 tahun yang lalu, nggak banyak berubah. Entah pola makan apapun yang saya terapkan, fluktuasi berat badan nggak lebih dari +/- 3Kg - yang berakibat pada lingkar perut yang (kurang lebih) selalu sama. Saya bisa makan sebanyak yang saya mau (atau nggak makan selama yang saya mau) tanpa harus repot memikirkan berat badan. (Berani bertaruh, pasti most of the girls wi

Endonesha - Story behind independence day

This is a story of great country named The Republic of Endonesha. A beautiful country located somewhere in Timbuktu. Hit almost 200million population, this country becomes a living legend. True living legend till now, but very few people know the history behind the independence day of this great country. Many blood (and sweat) were shed at that moment. Here's the story. Endonesha - What the Endonesha's historian never tell you. Part I - Rapat Penculikan Jam 10 pagi, 14 Agustus 1945 TW (Tahun Timbuktu). Lokasi: Rengasdengklek, Kerawang Prolog: Saat itu Endonesha masih terjajah dan belum menjadi Republik. Kondisi ekonomi morat marit, tiga tahun bangsa itu dijajah bangsa Jpang. Dalam tiga tahun itu, Sekarno, pemimpin bangsa itu, telah melakukan banyak negosiasi dengan bangsa Jpang agar Endonesha bisa mengatur sendiri kehidupan bernegaranya. Bangsa Jpang menjanjikan bahwa Endonesha segera diberi kemerdekaan. Bahkan agar lebih meyakinkan, Bangsa Jpang membentuk PPKE (Pan

Pergi ke kolam renang

Gambar
Semakin lama tinggal di Jepang, semakin saya menyadari betapa hidup di Indonesia harus disyukuri. Barusan kami pergi ke kolam renang. Untuk berenang tentunya, bukan untuk mendaki gunung. Yang disebut sebagai kolam renang di Jepang (pool atau dalam lidah jepang menjadi pu-ru) nggak sama dengan kolam renang di Indonesia. Di Indonesia, kita bisa ke kolam renang anytime sepanjang tahun, 7 hari seminggu buka terus. Kalo seneng dengan suasana yang rame2, ya pergi di musim liburan pas hari raya Idul Fitri (yang sebentar lagi dirayakan) ato akhir tahun. Kalo kayak saya, tipe yang seneng suasana yg sepi, lengang, nggak banyak orang, ya pergi pas hari kerja di luar musim liburan. Di Jepang, mengingat fakta bahwa berenang jelas bukan ide yang baik ketika musim dingin atau ketika suhu mencapai 5 derajat celcius, maka membuka kolam renang untuk publik di musim dingin, jelas hanya menghabiskan biaya operasional. Nggak kebayang para life-guard bercelana renang merah dengan perut six-pack yg berja

Nenek dan Jam di stasiun

Gambar
Jam di stasiun Inage (stasiun kereta terdekat dari tempat kami) adalah jam analog, ada jarum pendek dan jarum panjang, warna angkanya hitam dan tebal-tebal (mirip dengan jam2 kuno di stasiun2 Indonesia). Tergantung di atas platform stasiun. Setiap penumpang yang masuk ke dalam platform, dapat melihat dengan jelas jam tersebut. Setahu saya, jam tersebut tidak pernah berhenti, jarumnya selalu berada di angka yang tepat. (Di stasiun kota Malang, saya beberapa kali mendapati jamnya stasiun mati) Kemarin saya berjalan di sekitar stasiun untuk naik bis ke kolam renang. Istri saya sedang menuju kantor stasiun dan menanyakan kepada petugas bis mana yang mesti dinaiki. Di tengah hiruk pikuknya stasiun, tiba-tiba seorang nenek memanggil saya. Saya adalah orang paling dekat. Nenek itu agak bungkuk, membawa tongkat untuk membantunya berjalan, rambutnya sudah memutih. Tas hitam yg dibawanya sudah nampak kumal. Saya menghentikan langkah saya. Lalu berkonsentrasi dengan apa yg ditanyakan. "k

Pertama kali

Ada banyak pertama kali yang saya alami dalam minggu ini. Pertama kali naik shinkansen (kereta cepat). Tujuannya tokyo-nasushiobara yang jaraknya 157 km dan ditempuh dalam waktu kurang dari 1 jam. Seperti halnya kereta di Jepang, shinkansen juga super tepat waktu. Di tiket tertulis jam 11.20 berangkat, dan tepat jam 11.20 (waktu stasiun) kereta bener2 jalan. Karena nggak ada pedagang asongan yg jual tahu sumedang, nasi campur, ato the kotak, maka penumpang bisa beli bento sblm masuk kereta untuk dimakan di dalam kereta. Istilahnya eki-ben. Harga sekotak bento rata2 1000 yen (nggak perlu diitung kursnya dlm rupiah, karena nafsu makan bisa tiba2 ilang). Pertama kali melakukan kunjungan ke pabrik Toshiba cabang Nasushiobara yg khusus memproduksi alat2 medis, seperti CT scan, MRI, dan kawan2nya. Saya berkesempatan ngeliat dapurnya pabrik, bagaimana alat2 medis dirakit, mulai dr produksi komponen yg kecil2 sampe yg gede2. Dari sinilah alat2 medis bermerk Toshiba di-shipping ke seluruh d

Antara Nasushiobara dan Tokyo

Nasushiobara, tempat diadakannya JAMIT (The Japanese Society of Medical Imaging Technology) annual meeting 2011, adalah kota kecil. Jaraknya dari Tokyo sekitar 157 Km. Kota ini, kalau di Indonesia, mungkin seperti kota Batu. Suasana kota lengang, tidak banyak kendaraan lalu lalang. Populasi penduduk tercatat hanya 117ribu (bandingkan dengan Malang yang mencapai 800rb jiwa). Sepanjang perjalanan ke tempat conference banyak keliatan sawah-sawah atau rumah-rumah tak bertingkat. Pemandangan semacam ini nyaris tidak bisa ditemukan di Tokyo. Gedung2 tinggi dan minimarket yg hampir ada di setiap blok kota Tokyo atau Chiba, jarang sekali ditemui di Nasushiobara. Baru ada 1 dalam jarak 2-3km. Ritme kehidupan rasanya berjalan dengan lambat. Saya suka kota kecil seperti ini, tenang, damai, dan masyarakatnya nampak bersahabat. Ketika melihat hamparan sawah dalam perjalanan, saya ingat pelajaran geografi waktu SMP. Katanya, Jepang adalah negara dgn sumber daya alam terbatas. Waktu itu saya nggak be

Ngomong-ngomong tentang Kanji... (Part 1)

Gambar
Nah, ngomong-ngomong tentang karakter Kanji... saya terobsesi dengan karakter-karakter itu. Dulu, (pas masih nggak kepikiran bakal sekolah di Jepang), saya sudah tertarik. Gara-garanya sederhana. Beberapa karakter itu ternyata mewakili gambar. Misalnya karakter "gunung" (山) yang dibaca "yama", karakter itu sebenernya adalah gambar gunung yang disederhanakan (3 buah gunung, lalu dari puncaknya ditarik garis vertikal), karakter "pohon" (木) dibaca "ki", juga adalah gambar pohon... Garis horisontal mewakili tanah, di bawah tanah ada akarnya - dan tentu batang pohon muncul di atas tanah. Karakter "manusia" (人) dibuat simple, tubuh dan dua kaki. Nah, yang lebih menarik lagi, ketika dua karakter kanji disatukan untuk membentuk karakter baru. Misalnya karakter "manusia" (人) + "pohon" (木) = 休. Kira-kira ngapain kalo manusia deket2 dengan pohon? Kalo karakter ini ditulis di Indonesia, mungkin artinya adalah pipis (karena di In