Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2011

Radiasi dan Hati

Posting untuk rekan-rekan sebangsa dan setanah air di Jepang yang sedang (1) menimba ilmu (baik yang rajin maupun yang malas) (2) bekerja (baik yang legal maupun ilegal) (3) bengong (nggak tau mesti ngapain di Jepang): Isu radiasi sudah nggak asing lagi sejak gempa dan tsunami 2 minggu lalu. Efek radiasi memang nggak seperti makan cabe, yang langsung kerasa pedasnya ketika bersentuhan dengan lidah. Efeknya baru kerasa setelah beberapa atau puluhan tahun kemudian (begitu kabarnya). Di Tokyo, ketakutan akan radiasi dengan cepat menyebar. Kota megapolitan yang terletak 200Km dari Fukushima (lokasi meledaknya reaktor Nuklir), mulai ditinggalkan ratusan (atau ribuan?) warga negara asing. Minggu lalu, televisi meliput bagaimana antrian di bandara Narita dan Haneda yang dipenuhi orang2 asing yang akan pulang ke negaranya karena kuatir dengan keadaan di Jepang (entah kuatir dengan gempa susulan ataupun radiasi). Saya? Tetap tinggal di sini bersama istri tercinta. Nggak lebih baik balik Indo

Gempa dan teknologi di Jepang

Menjelang jam 3 kemarin, ada getaran2 kecil yang saya rasakan ketika saya makan siang di Lab (walaupun tinggal di Jepang, perut saya masih ikut Waktu Indonesia). Rekan2 di lab (yang mana labnya di Lt. 4) nampak tenang sambil berkomentar dengan kata kunci jishin (地震). Selama ini juga begitu. Kalau ada getaran akibat gempa (yang sdh saya rasakan 6 kali sejak saya tiba di Jepang), mereka tenang2 aja, kadang malah sambil ketawa2. Kali ini gempanya beda. Bukannya berhenti, tapi getarannya makin besar sampai membuat buku, alat2 tulis dan dokumen2 yang ada di atas meja meja jatuh ke lantai. Itu baru awalnya. Beberapa rekan berdiri. Saya menghentikan makan, ikut berdiri, memegangi monitor flat komputer saya agar tidak jatuh. Beberapa monitor dan CPU mulai terlihat jatuh dari meja saking kerasnya getaran. Buku2 dan barang2 kecil sudah berserakan tak karuan di lantai, berguncang2 karena getaran gempa. Lab nampak berantakan. Tangan saya yang satu memegang monitor lain yang nyaris jatuh. Seorang r

Harapan datangnya musim semi

Seorang bijak pernah mengatakan, "Untuk segala sesuatu ada saatnya." So true. Sejak bulan Desember tahun lalu, saya mengalami musim dingin, yang mana pengalaman baru bagi saya. Pengalaman baru, karena sejak lahir, saya tinggal di negara tropis dengan cuaca yang sangat bersahabat dan suhu berkisar antara 21-24 derajat celcius sepanjang tahun. Hangat, menyenangkan dan wajib disyukuri. Dalam 3 bulan terakhir, untuk pertama kalinya saya hidup di lingkungan bersuhu di bawah 10 derajat (beberapa hari berturut-turut di bulan Februari sempat berkisar 0-4 derajat), total sudah 4x melihat hujan salju dengan salju yang jatuh sebesar kelereng (walopun pas jatuh nggak seberat kelereng). Tanaman lombok yang saya tanam sejak bulan November, nyaris tidak menunjukkan adanya pertumbuhan di musim dingin ini. Dua di antaranya ada tanda2 akan mati. Hari-hari ini, suhu sudah mulai bersahabat walaupun masih di bawah 10. Prakiraan cuaca meramalkan minggu depan suhu sudah di atas 10 derajat dan mulai