Tentang Charis National Academy (2)
Ini sambungan dari posting yang lalu Tentang Charis National Academy (1).
Anak-anak kami ini boleh dibilang accidentally bisa masuk di Charis. Lha wong masuk waiting list-nya aja cuman beberapa bulan sebelum tahun ajaran baru mulai, padahal normalnya mesti masuk waiting list dulu 1 tahun sebelum masuk sekolah. Untungnya, di minggu-minggu terakhir ada 1 anak yang mengundurkan diri sehingga si Hide bisa masuk dan jadi siswa Charis - sampai sekarang di masa Pandemi ini duduk di kelas 2 SD.
Ini foto sekolah di rumah hari pertama 13 Juli 2020.
Sudah kelas 2 SD aja... Padahal di awal sekolah (tahun 2016) masih seperti ini.
Gimana sekolah di Charis?
First of all, Charis ini sekolah Kristen. Sebelum masuk, kami, orang tua, diminta untuk menandatangani agreement bahwa kami setuju semua kegiatan belajar mengajar based on the Christian Faith. Mata pelajaran Bible diletakkan sebagai mata pelajaran utama. Semua kegiatan diawali dan diakhiri dengan doa. Anak-anak diajarkan secara mandiri untuk bisa berdoa - dan semua gurunya mendidik karakter siswanya based on Christian Faith. Jadi ini bukan sekolah umum yang punya diversity untuk agama.
Is this full day school? No. Jam pelajaran lebih panjang karena hari Sabtu libur. Jadi mata pelajaran dipadatkan dari Senin - Jumat. Untuk SD kelas 1, kelas mulai jam 7.30 dan selesai 13.30.
Apakah di kelas menggunakan bahasa Inggris? Tidak sepenuhnya. Sejauh yang saya amati, teacher di Charis (Home Room Teacher) sering berkomunikasi dengan siswa-siswanya dalam Bahasa Inggris. Menyapa, bertanya, atau menyelipkan penjelasan dalam Bahasa Inggris. Ada beberapa guru native yang sudah mengajar sejak di PAUD. Untuk buku teks/pelajaran menggunakan buku teks dengan kurikulum Cambridge untuk mata pelajaran Math dan EFL. Semua nama mata pelajaran dituliskan dalam bahasa Inggris (Math, Science, EFL, Physical Education, Bible, Life skill, Civic, Computer).
Apakah pelajarannya berat? Ini relatif. Pendapat saya, kalau dibandingkan dengan Santo Yusup (Hwaind), masih lebih berat Santo Yusup. Di Charis siswa tidak di-push di akademik dengan mengerjakan pe-er segambreng atau dipaksa belajar lewat ulangan yang diselenggarakan tiap hari. That's really not the philosophy of Charis Education. Di Charis siswa diajarkan untuk senang belajar (dan belajar dengan senang). Para teachernya akan mengusahakan berbagai metode belajar yang akan membuat siswa tertarik untuk belajar - dan ketika sedang belajar, siswa tidak merasa terpaksa. Misal, belajar EFL lewat cerita, lagu dan gerakan. Belajar science dengan langsung eksperimen. Belajar Math (bangun 3D) dengan membuat maket. Ini salah satu kegiatan si Hide dan Megumi.
Emm... SPP-nya gimana? Mahal. Bingit. (Kalau dibandingkan dengan sekolah lain di Malang).
Pas Pandemi gimana kelas online-nya? Nah, ini yang saya salut. Charis ini cepat sekali beradaptasi dengan situasi Pandemi. Entah bagaimana koordinasinya, tapi mereka dengan segera punya sistem daring yang solid dan seragam. Para teacher-nya - sejauh yang saya amati - gak ada yang gaptek. Mereka semua (somehow) langsung fasih bekerja dengan Google Classroom dan meeting Zoom. Sistemnya langsung terbentuk dan seragam untuk semua teacher.
Pagi jam 7.30, semua diwajibkan sign-in dan ketemu dengan home room teacher (HRT) melalui Zoom, ini jadi dasar presensi siswa. HRT akan menyapa anak-anak, ngobrol dan menanyakan kabar untuk membangun hubungan emosi dengan siswa-siswanya. Lalu disampaikan kegiatan hari itu dan tugas-tugasnya. Siswa tahu apa yang akan dikerjakan sampai siang nanti. Materi diletakkan di Google Classroom dan diberikan jadwal kapan akan dikerjakan. Tentu siswa tidak terus menerus didampingi melalui Zoom. HRT menyampaikan apa-apa yang perlu dikerjakan, lalu aktivitas akan dilakukan secara mandiri oleh siswa sesuai dengan alokasi waktu yang ditentukan. Bahkan ada sesi no-screen time (di mana anak tidak dibolehkan pegang HP). Di jam 11, semua aktivitas akan diakhiri dan bertemu kembali dengan HRT yang akan menyapa dan memantau progress aktivitas yang sudah dilakukan oleh siswa dalam hari itu. Ini berlaku seragam untuk semua tingkat kelas.
Salut. Para teacher seolah-olah sudah pro dalam menyelenggarakan pendidikan daring (padahal siapa sih yang pernah mengalami model pendidikan seperti ini?). Semua potensi kendala yang bisa muncul sudah dipikirkan dan diberikan solusi. Kalau siswa gak ada printer di rumah bagaimana? Kalau orang tua siswa bekerja dan gak bisa mendampingi bagaimana? Bahkan sampai untuk worst case kalau orang tua tidak punya device yang bisa digunakan anak untuk mengikuti kelas daring, mereka memikirkan solusinya.
Komentar
Posting Komentar