Bikin tempe

Sejak meninggalkan Indonesia bulan September tahun lalu, saya nggak bisa makan tempe. Pertama, karena tempe nggak gampang didapetkan di Jepang. Kalopun ada, harganya mahal... Beberapa potong tempe di Jepang setara dengan harga 1 paket pizza hut ukuran large di Indonesia. Jadi, di Jepang, kalo di meja makan  setiap hari masakah dengan bahan utama tempe, berarti si empunya rumah boleh dibilang orang kaya.

Kami agak nggak tega kalo mau beli tempe di Jepang (ya nggak tega belinya, ya nggak tega makannya).

Hingga beberapa minggu lalu (yang bertepatan dengan musim dingin), saya kepikiran bikin tempe sendiri. Masak ya orang Indonesia nggak bisa bikin tempe. Saya sempet surfing di Internet, nyari info gimana cara bikin tempe. Inti pembuatan tempe rata-rata sama.
  1. Bahan utama adalah kedelai kering (bukan jagung).
  2. Kedelai harus ditelanjangi dan dibelah dua. Cara paling gampang untuk menelanjangi kedelai adalah direbus terlebih duu sampe empuk. Cara tradisional adalah dengan direndam di air 24 jam. 
  3. Setelah kedelai telanjang dan terbelah dua, kedelai-kedelai itu mesti dikukus sampe empuk. Kalo nggak ada kukusan, ya direbus di dalam air. 
  4. Dalam keadaan telanjang, terbelah dua, dan dikukus, penderitaan kedelai nggak berhenti sampe situ. Kedelai-kedelai itu harus ditiriskan lalu ditelentangkan agar kering. Kalo mau dikeringkan dengan cara dihanduki satu-satu juga boleh. Saya memilih cara praktis dengan meng-hair-dryer kedelai-kedelai telanjang yang bergelimpangan di atas baki beralaskan tissue itu. 
  5. Setelah kedelai2 itu agak kering, taburkan ragi tempe (bukan ragi tape karena saya nggak pengen makan tempe rasa tape). Menurut informasi, takaran untuk 1kg kedelai, ragi yang ditabur seberat 2gram. Saya nggak bisa percaya. Masak kedelai 1kg cuman dapet jatah ragi 2 gram?? Saya mencoba menaburi ragi sesuai feeling saya. Jadi jujur saya nggak tau berapa banyak ragi yang saya tabur di kedelai (kalo ini penelitian di lab, maka tempe-nya nggak qualified untuk dipublikasikan... dalam penelitian, semua parameter harus tercatat dengan jelas dan detail, nggak boleh pake feeling - buat saya cooking is an art, not science). Anyway, saya dapet kiriman sample ragi gratis dari situs tempeh.info, dikirim dari Belgia.
  6. Kedelai yang sudah ditaburi ragi, segera dimasukkan ke dalam plastik (atau kabarnya lebih baik daun pisang). Ditutup rapat dan padat, kemudian di permukaan plastik diberi lobang-lobang secara sporadis. Intinya agar ada udara masuk sehingga jamur bisa tumbuh.
  7. Menurut informasi berikutnya, kedelai dalam plastik itu mesti didiamkan di tempat kering dengan suhu kamar (di Indonesia). Karena musim dingin, suhu kamar kami mencapai 5 derajat, yang kabarnya nggak ideal untuk menumbuhkan jamur tempe. Peduli amat dengan suhu. Kami meletakkan kedelai yang telah bercampur ragi itu di tempat kering dalam suhu sesuai dengan suhu kamar kami. 
  8. Teorinya, setelah 36 jam akan muncul serabut2 tipis berwarna putih yang melekatkan kedelai tadi - ato dengan kata lain, kedelai berubah jadi tempe. Tapi, kami menunggu, kedelai masih tetaplah kedelai. Tidak ada tanda2 akan jadi tempe.
  9. Kalau sudah seperti ini, ucapkanlah mantra tempe yang bunyinya, "Hai kedelai! Besok kamu harus jadi tempe... jadi tempe... jadi tempe...!" (Diucapkan beberapa kali di depan kedelai dengan suara keras)
  10. Keesokan harinya, pop...! Jadilah tempe.
Catatan:
  • Tempe itu  kami goreng, lalu kami makan untuk makan malam.
  • Rasa tempe sangat dipengaruhi oleh rasa kedelai. Rasa kedelai di Jepang, lebih manis (dan lembut) dari kedelai di Indonesia, sehingga rasa tempe juga lebih manis.


Komentar

  1. haha....lucu. lumayan tapi ya, bisa dapet pengalaman bikin tempe sendiri.

    BalasHapus
  2. Waduh saya juga lagi bikin tempe nih. Suhu sekitar 20 C. Jangan2 harus baca mantra juga..... heheheh

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Charis National Academy (2)

Day care di Jepang dan keadilan sosial

Mengurus Visa Korea di Jepang