Televisi

Dibandingkan dengan Indonesia, saya merasa acara televisi di Jepang lebih menarik. Setiap acara dikemas dengan kreatif, sebagian diberi subtitle dalam Kanji (mungkin untuk memudahkan mereka yang tuna rungu atau bisa juga untuk melatih anak2 SD dan orang asing seperti saya agar lebih lancar membaca kanji), diberikan animasi dan warna2 yang segar agar penonton betah menonton berjam2, dan tak lupa menampilkan pembawa acara yang cantik atau keren atau konyol agar lebih menghibur.

Nggak di Indonesia, nggak di Jepang, para produser acara TV berusaha bikin acara yang penonton sampe betah di depan TV selama berjam2. Waktu di Indonesia, saya sering kali ketemu dengan anak2 muda (dan orang tua) yang masuk dalam kategori "pecandu TV". Dalam sehari, waktu yang dihabiskan di depan TV bisa 5-10 jam. Kalo ketemu dengan "pecandu TV" semacam ini, saya kemudian berhitung2... Kalau 1 hari menghabiskan 5 jam di depan TV, maka dalam 1 minggu dia menghabiskan 35 jam di depan TV. Dalam 1 bulan dia menghabiskan 140 jam. Dalam 1 tahun dia menghabiskan lebih dari 1500 jam. Kemudian saya membayangkan beberapa skenario lagi...
  • Seandainya si anak muda pecandu TV ini punya bakat bermain musik atau menyanyi, dan dia mengganti 1500 jam menonton TV dengan berlatih memainkan alat musik atau menyanyi, maka pasti permainan musik/teknik menyanyi yang dimilikinya akan meningkat dengan drastis. Dia sangat mungkin jadi profesional, diundang di berbagai event atau malah sudah menghasilkan album. Tapi kotak televisi telah membuat semua hal itu tidak terwujud.
  • Seandainya si anak muda pecandu TV ini punya jiwa seni melukis, dan dia mengganti 1500 jam menonton TV dengan berkreasi dan mencipta karya seni, maka kemungkinan besar si anak muda ini telah menghasilkan karya lukisan yang benilai jual tinggi. Karyanya mungkin akan dipamerkan dan membuat banyak orang berdecak kagum. Tapi karya2 itu menguap begitu saja di depan kotak televisi.
  • Seandainya si anak muda pecandu TV ini punya bakat menulis, dan dia mengganti 1500 jam menonton TV dengan membaca/menulis novel, maka hampir dipastikan akan ada 2 atau 3 novel berkualitas yang dihasilkan. Namun, novel2 itu terkubur dalam otaknya begitu saja tanpa pernah dibaca siapapun karena kotak televisi.
  • Seandainya si anak muda pecandu TV ini punya potensi sebagai seorang ilmuwan, dan dia menggantikan 1500 jam menonton TV dengan melakukan berbagai penelitian di Lab, pasti akan muncul penemuan-penemuan canggih yang membuat hidup manusia lebih baik. Namun penemuan2 itu nggak pernah muncul karena terhalang oleh sebuah kotak hitam bernama TV.
  • Seandainya si pecandu TV adalah bapak rumah tangga, tentu hubungannya dengan istri akan jauh lebih baik baik ketika si bapak mau menemani istri yang berangkat tidur duluan karena lelah mengurus rumah tangga seharian ketimbang waktunya dihabiskan di depan TV dan membiarkan istrinya tidur sendirian. Atau hubungannya dengan anak2nya akan lebih harmonis ketika si bapak mau menemani ngobrol anaknya yang hendak berangkat tidur ketimbang si bapak berkonsentrasi nggak jelas di depan TV.
Tapi ya, bukan berarti nonton TV itu jelek. Kalo di Jepang, saya nonton TV untuk melatih listening dan reading (kanji). Istri saya nonton TV untuk mengamati/belajar mode, fashion, dan karya2 seni kreatif di Jepang dan dipraktekkan - juga melihat acara memasak untuk menambah pengetahuan. Di Indonesia, Mami saya termasuk golongan yang suka nonton TV sampe berjam2 dan saya nggak pernah memprotes mami dengan alasan2 di atas. Kenapa? Ya karena alasan di atas sudah nggak valid dikenakan ke mami. Usia mami saya udah 60, tahun ini akan pensiun sebagai guru SD setelah mengajar hampir 40 tahun lamanya (dan ehm... saya bercita2 untuk mengajak mami jalan2 ke Jepang, menikmati masa pensiun-nya).

Dalam 40 tahun mengajar, sudah ribuan siswa dihadapi. Teknik mengajar yang dipunyai sudah benar2 teruji. Sudah hafal benar kata per kata yang hendak diucapkan ketika hendak mengajar. Sudah tau persis di mana muridnya akan kesulitan dan bagaimana mengatasinya. Materi matematika, Bahasa indonesia, PpKN, IPA, dan IPS sudah hafal benar tanpa melihat buku teks, menerangkan ke murid2 sudah semudah membalikkan tangan. Jam mengajarnya sudah lebih dari 30.000 jam. Jadi, ketika sudah tidak lagi perlu menyiapkan bahan mengajar untuk keesokan harinya (karena sudah hafal), ya hiburannya adalah nonton TV. Saya jelas nggak bisa protes ke mami kalo mami menghabiskan waktu berjam2 di depan TV menggunakan alasan2 di atas tadi.

Alasan di atas hanya bisa di-validasi untuk mereka2 yang merasa usianya adalah usia produktif, di mana masih banyak karya2 yang bisa dihasilkan. Di mana waktu perlu dimanfaatkan untuk memperdalam skill, mengembangkan talenta - dalam bidang apapun - ketimbang waktunya habis begitu saja di depan TV.

Tentu Sang-pemberi-talenta berharap agar talenta yang sudah di-deposit-kan dalam diri masing2 nggak ngendon gitu aja tanpa hasil apapun gara2 terlalu sering melototi kotak hitam bernama televisi.


Komentar

  1. Dalam article "How much TV is too much TV", rata2 anak usia 2-11 tahun menghabiskan waktu lebih dari 27 jam per minggu di depan TV! sebuah penelitian dari Universitas Southern California menunjukkan bahwa jumlah jam menonton TV pada anak2 punya korelasi dengan meningkatnya konflik dgn org tua, perkelahian sesama anak dan kejahatan remaja.
    Belum lagi ditambah dgn meningkatnya konsumerisme anak krn terlalu sering lihat iklan di TV (mulai dari snack produksi garuda food sampai makanan cepat saji spt McD dan KFC) -- kalau ini pengalaman pribadi :)), so sudahkan anda membatasi jam nonton TV anak anda??

    BalasHapus
  2. ini namanya pencerahan Pak... Ibuku udah pensiun dan kalo sore (sampe malam) nyandu banget ama sinetron, kalo pagi siy masak dan bertani di kebun... Begitupun saya suka merengut sebel kalo berebut tipi... krn gak nyandu nonton aku suka ganti2 channel (yg bikin ibuku sebel krn iklan juga dia tonton takut ketinggalan sinetronnya)... Lain kali ... ak pasti lebih toleran dey pak...

    BalasHapus
  3. @bubu: Lha ya itu... kalo nggak ada hiburan, ntar bisa stress... mana anak2nya udah pada gede2 dan punya keluarga sendiri2... :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Charis National Academy (2)

Day care di Jepang dan keadilan sosial

Mengurus Visa Korea di Jepang