Selesai...
Awal November 1975
Dia masih muda, baru berusia 25 tahun. Sore itu ia menyusuri jalan dengan berjalan kaki, lambat2. Pikirannya kalut, tidak tenang memikirkan kelahiran anak pertamanya. Tipikal keluarga muda yang baru berumah tangga, belum mapan bekerja dan nggak punya banyak uang. Yang ada di dalam pikirannya adalah Bagaimana membiayai kelahiran anak pertamanya.
Tanggal 27 November 1975, anak pertamanya lahir normal di sebuah rumah sakit kecil. Perempuan. Nggak ada banyak uang untuk membawa istrinya melahirkan di rumah sakit yang mewah. Dia menangis bahagia memandang anaknya. Sekarang ia punya semangat lebih, ia harus bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya.
Dua tahun berikutnya, anak keduanya lahir. Perempuan lagi. Keadaannya masih belum baik, dia masih nggak punya banyak uang. Tapi setidaknya sekarang sudah punya sepeda motor bekas yang dibelinya secara kredit. Sepeda motor itu yang mengantarkan dia bekerja, mengantarkan istrinya atau anaknya ke dokter.
Sepeda motor itu lunas ketika anak ketiganya lahir. Ia puas, walaupun tetap nggak punya banyak uang.
Februari 2007
Anak perempuan pertamanya, menjadi seorang arsitek, menangani proyek resort dan hotel di Pulau Bintan. Berkeluarga dan punya seorang anak perempuan, cucu pertamanya. Bakat menggambar yang dimiliki sang anak, didapat dari dia. Dia nggak pernah bisa jadi arsitek seperti anak pertamanya, tapi dia bangga dengan anak perempuan pertamanya, anak pertama yang dulu bahkan dia nggak tau harus membayar biaya kelahirannya dengan cara apa. Tapi dia bangga.
Anak keduanya lulus Cumlaude dari ITB dan menyelesaikan pasca sarjana di University of Queensland dengan predikat cumlaude (lagi). Saat itu, anak keduanya menjadi seorang peneliti dan pengajar di UBAYA. Lelaki itu bangga dengan anak keduanya, anak yang waktu masih kecil sering sakit2an, yang harus dibawa ke dokter dengan mengendarai sepeda motor, cemas2 kalau ia nggak bisa menebus resep obat karena ia nggak punya banyak uang.
Cita2nya untuk menulis buku diselesaikan anak ketiganya. Anak ketiganya menjadi penulis, pengajar, sama seperti dia dulu waktu masih muda. Dia dulu mengajar di SD dan SMP, anaknya mengajar di perguruan tinggi. Dia begitu mencintai pendidikan, mengabdikan dirinya untuk menjadi guru dan tetep mengajar walaupun tahu bahwa dia nggak akan bisa punya banyak uang untuk anak2nya.
Dia menangis bahagia ketika menghadiri pernikahan anak pertamanya. Ia senang ketika dia bisa menggendong2 cucu pertamanya. Dia bahagia menghadiri pernikahan anak keduanya, lalu sekali lagi bisa melihat kelahiran cucu keduanya. Ia bangga dengan anak ketiganya yang melanjutkan kuliah S2 di tahun 2006. Ia ingat bagaimana dia harus bekerja keras untuk membesarkan anak2nya yang masih kecil, ketika dia kebingungan mencari uang untuk membiayai biaya kuliah anak keduanya yang diterima di ITB, ketika dia memberikan sepeda motornya ke anak lelakinya agar anak lelakinya bisa kuliah dengan nyaman tanpa harus naek angkot. Tapi semuanya sudah terbayar. Semua kesusahan yang dia hadapi di masa lalu sudah selesai ketika melihat anak2nya berhasil.
Dan bulan Februari 2007, tugasnya di bumi sudah selesai. Ia selalu bekerja dengan efisien, nggak suka membuang2 waktu. Mengerjakan semuanya dengan benar dan se-efisien mungkin, dan dia melakukannya. Dia menyelesaikan tugasnya dalam waktu 57 tahun. Menyelesaikan tugasnya untuk membesarkan anak2nya. Dia mendidik anak2nya dengan nilai2 yang bener. Lalu Tuhan memanggil lelaki itu. "Anak-Ku, tugasmu sudah selesai. Kamu sudah melakukan tugasmu dengan baik. Mari, saatnya kembali ke surga bersama-Ku, Aku sudah menyiapkan tempat tinggal untukmu."
Dia lelaki yang though, nggak gampang nyerah. Ia menawar. "Tuhan, bolehkah aku kembali setelah melihat anak pertamaku? Anak pertamaku akan datang bulan Februari ini dengan membawa cucu pertamaku. Aku ingin melihat anak2ku dan cucu2ku terakhir kali sebelum aku kembali."
Tuhan mengabulkan.
Tuhan memperpanjang umurnya beberapa hari agar dia bisa melihat anak pertama dan cucu pertamanya terakhir kali. Semua anak2nya menemani dia di hari2 terakhir. Tugas terakhirnya pun diselesaikan dengan baik, ia memegang tangan istrinya, menggenggamnya dengan sisa2 tenaganya lalu meletakkannya di perutnya sebelum ia pergi. Semua tugasnya sudah selesai.
Selamat jalan papi. I'm proud to be your son, I love you.
[Buat Papi, in loving memoriam, 17 Februari 2007... Sampe ketemu di surga, Pi.]
Dia masih muda, baru berusia 25 tahun. Sore itu ia menyusuri jalan dengan berjalan kaki, lambat2. Pikirannya kalut, tidak tenang memikirkan kelahiran anak pertamanya. Tipikal keluarga muda yang baru berumah tangga, belum mapan bekerja dan nggak punya banyak uang. Yang ada di dalam pikirannya adalah Bagaimana membiayai kelahiran anak pertamanya.
Tanggal 27 November 1975, anak pertamanya lahir normal di sebuah rumah sakit kecil. Perempuan. Nggak ada banyak uang untuk membawa istrinya melahirkan di rumah sakit yang mewah. Dia menangis bahagia memandang anaknya. Sekarang ia punya semangat lebih, ia harus bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya.
Dua tahun berikutnya, anak keduanya lahir. Perempuan lagi. Keadaannya masih belum baik, dia masih nggak punya banyak uang. Tapi setidaknya sekarang sudah punya sepeda motor bekas yang dibelinya secara kredit. Sepeda motor itu yang mengantarkan dia bekerja, mengantarkan istrinya atau anaknya ke dokter.
Sepeda motor itu lunas ketika anak ketiganya lahir. Ia puas, walaupun tetap nggak punya banyak uang.
Februari 2007
Anak perempuan pertamanya, menjadi seorang arsitek, menangani proyek resort dan hotel di Pulau Bintan. Berkeluarga dan punya seorang anak perempuan, cucu pertamanya. Bakat menggambar yang dimiliki sang anak, didapat dari dia. Dia nggak pernah bisa jadi arsitek seperti anak pertamanya, tapi dia bangga dengan anak perempuan pertamanya, anak pertama yang dulu bahkan dia nggak tau harus membayar biaya kelahirannya dengan cara apa. Tapi dia bangga.
Anak keduanya lulus Cumlaude dari ITB dan menyelesaikan pasca sarjana di University of Queensland dengan predikat cumlaude (lagi). Saat itu, anak keduanya menjadi seorang peneliti dan pengajar di UBAYA. Lelaki itu bangga dengan anak keduanya, anak yang waktu masih kecil sering sakit2an, yang harus dibawa ke dokter dengan mengendarai sepeda motor, cemas2 kalau ia nggak bisa menebus resep obat karena ia nggak punya banyak uang.
Cita2nya untuk menulis buku diselesaikan anak ketiganya. Anak ketiganya menjadi penulis, pengajar, sama seperti dia dulu waktu masih muda. Dia dulu mengajar di SD dan SMP, anaknya mengajar di perguruan tinggi. Dia begitu mencintai pendidikan, mengabdikan dirinya untuk menjadi guru dan tetep mengajar walaupun tahu bahwa dia nggak akan bisa punya banyak uang untuk anak2nya.
Dia menangis bahagia ketika menghadiri pernikahan anak pertamanya. Ia senang ketika dia bisa menggendong2 cucu pertamanya. Dia bahagia menghadiri pernikahan anak keduanya, lalu sekali lagi bisa melihat kelahiran cucu keduanya. Ia bangga dengan anak ketiganya yang melanjutkan kuliah S2 di tahun 2006. Ia ingat bagaimana dia harus bekerja keras untuk membesarkan anak2nya yang masih kecil, ketika dia kebingungan mencari uang untuk membiayai biaya kuliah anak keduanya yang diterima di ITB, ketika dia memberikan sepeda motornya ke anak lelakinya agar anak lelakinya bisa kuliah dengan nyaman tanpa harus naek angkot. Tapi semuanya sudah terbayar. Semua kesusahan yang dia hadapi di masa lalu sudah selesai ketika melihat anak2nya berhasil.
Dan bulan Februari 2007, tugasnya di bumi sudah selesai. Ia selalu bekerja dengan efisien, nggak suka membuang2 waktu. Mengerjakan semuanya dengan benar dan se-efisien mungkin, dan dia melakukannya. Dia menyelesaikan tugasnya dalam waktu 57 tahun. Menyelesaikan tugasnya untuk membesarkan anak2nya. Dia mendidik anak2nya dengan nilai2 yang bener. Lalu Tuhan memanggil lelaki itu. "Anak-Ku, tugasmu sudah selesai. Kamu sudah melakukan tugasmu dengan baik. Mari, saatnya kembali ke surga bersama-Ku, Aku sudah menyiapkan tempat tinggal untukmu."
Dia lelaki yang though, nggak gampang nyerah. Ia menawar. "Tuhan, bolehkah aku kembali setelah melihat anak pertamaku? Anak pertamaku akan datang bulan Februari ini dengan membawa cucu pertamaku. Aku ingin melihat anak2ku dan cucu2ku terakhir kali sebelum aku kembali."
Tuhan mengabulkan.
Tuhan memperpanjang umurnya beberapa hari agar dia bisa melihat anak pertama dan cucu pertamanya terakhir kali. Semua anak2nya menemani dia di hari2 terakhir. Tugas terakhirnya pun diselesaikan dengan baik, ia memegang tangan istrinya, menggenggamnya dengan sisa2 tenaganya lalu meletakkannya di perutnya sebelum ia pergi. Semua tugasnya sudah selesai.
Selamat jalan papi. I'm proud to be your son, I love you.
[Buat Papi, in loving memoriam, 17 Februari 2007... Sampe ketemu di surga, Pi.]
Komentar
Posting Komentar