(Kisah) Belajar Bahasa (Jepang) - part 1

Hari ini, genap sudah 2 bulan saya ikut kelas Bahasa Jepang. Lama course-nya 100 menit setiap pertemuan. Ada 4 guru berbeda yang ngajar, tapi murid2nya selalu sama. Salah satu gurunya sudah menunjukkan sikap tidak bersahabat dengan cara nggak mau menjelaskan dalam Bahasa Inggris kepada para murid yang jelas2 masih cupu dalam Bahasa Jepang. Gara-gara ibu itu, kelas jadi terbagi menjadi 2 kubu, either mengerti sekali yang dijelaskan ato yang blas nggak ngerti. (tolong, nggak perlu cari tau saya masuk di kubu yang mana).

Di awal pelajaran, selalu ada kuis vocab atau kuis grammar. Kata salah satu profesor bahasa senior di tempat saya kerja, saya punya kemampuan bahasa yang baik. Dari beberapa test potensi akademik yang pernah saya ikuti, juga menunjukkan hal yang sama (nilai verbal di atas 600 dari nilai penuh 800). Suka menulis posting blog juga mungkin bisa menunjukkan indikasi yang sama. Jadi, obvious bahwa belajar bahasa asing bukan masalah bagi saya... dan kalau ada kuis vocab ato kuis grammar, tentunya dengan fakta di atas, bisa dengan mudah ditebak nilai-nilai kuis vocab atau grammar saya.

Iyak, betul sodara-sodara... Nilai kuis vocab saya jelek-jelek (plural, bukan singular). Dan jelek-nya bukan dalam definisi pelajar China di kelas saya yang rajin-bin-pintar-binti-selalu-ngerjakan-pe-er itu (yang mana nilai vocab dapet nilai 9 sudah disesali sepanjang pelajaran dan berjanji akan menambah jam belajarnya lebih lama 3 jam). Nilai jelek(-jelek) dalam kasus saya adalah dalam definisi pelajar normal, di mana nilai 6 (dari maksimal 10) is considered as a very good mark.

Prinsip yang saya pegang teguh dalam belajar bahasa kali ini adalah, "buat-apa-dihafalkan-kalau-sekedar-untuk-bisa-menjawab-kuis". Gara-gara prinsip ini, saya menganggap menghafalkan vocab jadi cuma buang waktu karena apa yang dihafal cuman numpang lewat di short-term memory (dan sejam setelah kuis vocab selesai, segera menguap dari ingatan).

Jadi saya nggak pernah repot2 menghafal. Cukup dibaca sekedarnya. Dari membaca sekedarnya itu, kalo ada yang nyantol dijamin nyantolnya di long-term-memory (yang nggak menguap setelah kuis vocab berakhir). Sukur2 kalo beberapa biji kata yang nyantol itu pas keluar di kuis vocab. Setidaknya jadi ada yang benar 4 ato 5 kata (dari 10 kata yang diujikan).

* Mau bilang males menghafalkan vocab aja pake njelaskan dengan mbulet *

Teman2 lab saya, ada 14. Dari ke-14-nya, 13 orang Jepang dan 1 bukan orang Jepang. Yang 1 ini, dari China - dan sudah 8 tahun tinggal di Jepang. Jadi obvious sudah, siapa yang punya the worst japanese language on the lab.

Nah, kalo masih tertarik bagaimana belajar bahasa dengan cara yang nggak bener (seperti yang saya lakukan), boleh melanjutkan membaca. Sementara kalo tertarik belajar bahasa dengan cara yang baik, benar dan secara empiris sudah dibuktikan kesahihannya, silahkan baca blog belajar bahasa taktis dari Pak Profesor yang satu ini.

Dalam pengamatan saya belajar bahasa, di setiap bahasa, ada dua macam bahasa. Bahasa resmi dan bahasa jalanan. Bahasa resmi adalah bahasa saat rapat, saat presentasi, termasuk bahasa yang digunakan saat menjawab kuis vocab dan grammar. Sedangkan bahasa jalanan adalah bahasa yang digunakan saat menghasut teman untuk skip kuliah, saat ngerasani dosen yang mengajar, atau saat kita tersesat di jalan. Lebih penting yang mana? Ya, bisa diputuskan sendiri.

Pastinya bahasa jalanan seperti ini: "Lapo mlebu kuliah e wong iku... Wong iku lek njelasno geje... Melu aku ae, mlaku2 nyang mall" akan lebih berguna ketimbang bahasa resmi "Ada kuliah tambahan di hari Senin, pukul 12.50-14.30". Juga informasi bahasa jalanan "Ra iso mas lek liwat gang iki, lha wong iki gang buntu... nrabas ndek di gang ngarep ae mas..." akan lebih berguna untuk menunjukkan jalan pulang agar tidak tersesat (dan bisa dijamin, tatanan kalimat semacam itu tidak akan pernah muncul dalam bahasa resmi).

Tips berbahasa #1. Berikan porsi yang seimbang antara belajar bahasa jalanan dengan bahasa resmi.

(Dalam kasus saya, saya belajar bahasa jalanan 80% dan bahasa resmi 20% - itu sebabnya nilai vocab dan grammar yang mana menggunakan bahasa resmi, jelek2 -- alasan lain untuk membenarkan diri nggak belajar vocab)

Kedua, bagaimana belajar bahasa dengan cara nggak bener yaitu pemilihan buku teks.
Buku-buku teks resmi yang ditulis oleh bapak/ibu profesor bahasa akan mengajarkan bahasa resmi yang menunjukkan betapa berpendidikannya mereka yang belajar bahasa tersebut. Sementara sumber-sumber yang kurang terpercaya, lebih memberikan cara berbahasa yang lebih luwes. Belajar karakter "好", kalo menurut buku teks yang ditulis bapak/ibu profesor akan mengatakan, itu karakter "suki (すき)" yang artinya "suka". Telan itu mentah!! Jangan tanya kenapa karakter aneh itu berbunyi "suki"!! (atau profesor yang lebai akan bilang, "tanya ke nenek moyang mereka kenapa karakter itu dibaca "suki"). Lalu mungkin pada textbook akan diberikan contoh kalimat super garing sesuai dengan grammar yang baik dan benar, "watashi wa uta ga suki (好) desu" (saya suka menyanyi) -- adooh, please deh... emang masih ada yang ngomong dengan contoh kalimat kayak gitu?!

Sementara belajar bahasa dari sumber jalanan akan mengatakan, karakter itu disusun dari dari karakter perempuan "女" dan anak "子". Perempuan yang di sebelahnya ada anak... Jadi karakter itu bisa dibasa, "Dasar perempuan, SUKA-nya cuma sama anak-anak...!!" Jadilah karakter "好" disebut dengan "suka". Sekali hafal, akan sulit lupa... Contoh kalimatnya akan semacam, "suka makan ikan? emangnya gue kucing suka makan ikan?" Beda dengan buku teks bapak/ibu profesor itu.

Tip berbahasa #2. Dalam belajar bahasa jalanan, jangan sekali-kali mengandalkan textbook yang disusun oleh profesor bahasa.

----------------------
to be continued...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Charis National Academy (2)

Day care di Jepang dan keadilan sosial

Mengurus Visa Korea di Jepang