Postingan

Kembali Belajar Bahasa Jepang

Akhir-akhir ini, saya memutuskan untuk belajar Bahasa Jepang (lagi) setelah terakhir belajar sejak... emmm... 6 tahun lalu? Someday, saya akan -somehow- pergi ke Jepang lagi. Ini sudah saya masukkan dalam check list saya. Entah dalam rangka berlibur dengan keluarga atau mengantar anak yang akan sekolah di sana (kalau mau) atau mengenang masa-masa saat saya menghabiskan 5 tahun usia produktif saya sebagai peneliti dan doctoral student.  Saat saya ke sana, targetnya adalah lancar berkomunikasi dengan petutur asli. Saya akan napak tilas perjalanan saya selama di Jepang.  First priority-nya adalah mengunjungi sensei saya, Haneishi Sensei  di Chiba Univ. Sejak kembali dari Jepang hingga saat ini, saya merasa betul besarnya jasa beliau dalam membimbing studi doktoral saya. Pengalaman meneliti, menulis artikel untuk publikasi internasional, presentasi di seminar internasional - termasuk kesempatan untuk mengunjungi pelosok Jepang (dari Hokaido sampai Okinawa), Seoul, Chicago, dan Florida untu

Naik Motor

Saya naik motor untuk sebagian besar perjalanan yang saya lakukan sehari-hari. Ke kantor atau kalau bepergian sendiri dalam radius 10km, juga naik motor. Pas hujan, ya kehujanan. Pas panas ya kepanasan. Kenapa gak naik mobil?  Itu mungkin pertanyaan yang muncul di kepala teman-teman kantor kalau lihat saya kemana-mana selalu pakai motor. Dosen dengan gelar doktor lulusan luar negeri, punya jabatan tinggi di kantor, tapi kemana-mana masih naik motor. Kalah dong sama dosen biasa yang tanpa jabatan tapi selalu naik mobil. Bahkan sama staf biasa juga ada yang pulang naik pake mobil gress tahun terbaru. Ada prinsip yang saya pegang. Ada janji yang harus saya tepati kepada diri saya sendiri. Selama belum tercapai target itu, saya akan masih naik motor kemana-mana.  Di luar janji tersebut, saya punya hitung-hitungan bepergian naik motor vs. naik mobil. Naik mobil nyaman. Tapi naik motor, buat saya jauh lebih produktif. Speed. Buat saya waktu itu penting. Selisih 5-10 menit itu berarti. Naik m

In term of education for my kids...

 Untuk pendidikan anak, saya punya cita-cita. Selama masih sekolah (sebelum kuliah), biarlah mereka sekolah di Charis. Ada beberapa alasan yang membuat saya stick untuk menyekolahkan anak-anak di Charis. Mengutamakan pendidikan karakter. Sebagian besar mata pelajaran menggunakan Bahasa Inggris. Ini akan jadi modal penting kelak. Dekat rumah. Itu aja. Dari sisi kedalaman materi akademik untuk math dan bahasa, yaaa... masih kurang dibandingkan dulu saya sekolah. Tapi ya mungkin itu kompensasi untuk penekanan pendidikan karakter.  Kelak saat kuliah, saya punya cita-cita untuk agar anak-anak saya bisa kuliah di luar negeri. Preferensi saya adalah USA, Jepang atau Australia. Sama seperti preferensi saya saat mencari beasiswa S3 dulu. Untuk Eropa atau yang lain, saya kurang tertarik. Strateginya mulai disusun sejak saat ini. Untuk Jepang, setiap tahun ada program beasiswa Monbukagakusho yang bergengsi dan sangat kompetitif. Mungkin rasio penerimaannya 1:100. Tapi bisa diperbesar lewat pengua

Masa Pandemi Agustus 2021

Gambar
 Ini cerita tentang perkembangan anak-anak saya, Hide, Megumi dan si kecil Shena.  Yang sekolah masih sekolah daring full. Gak ada acara anter-jemput ke sekolah dan masih jarang keluar rumah. Hide masuk usia 8 dan akan 9 tahun di September 2021 ini. Saat ini kelas 3 SD. Sejak kelas 2 SD sepertinya punya ketertarikan terhadap science. Saya pernah menjelaskan tentang gaya - gaya tarik dan gaya dorong - yang diukur dalam satuan Newton. Sejak saat ini, konsep tentang gaya menarik perhatiannya. Suka bertanya-tanya seputar gaya, "Mobil ini berapa newton gaya dorongnya?" atau "Kalau mendorong sepeda, butuh berapa newton?", atau "Kita kalau jatuh ketarik dengan gaya berapa newton?".  Lalu juga tertarik dengan antariksa (planet, meteor, bintang) sejak sering nonton channel Youtube Sisi Terang. Sering penasaran dengan meteor jatuh, jarak antar planet, blackhole - dan kapan/bagaimana berakhirnya bumi.  Masih suka nonton film - yang akhirnya menjadi agenda rutin. Film

Running Autopilot Business

 Seberapa sulit menjadikan suatu usaha autopilot?  Usaha yang autopilot adalah usaha yang sudah memiliki sistem baku, dan bisa dijalankan dengan sedikit (atau bahkan tanpa) sentuhan tangan. Waralaba Indomaret atau Alfamart adalah contoh usaha yang autopilot - pemiliknya gak akan jagain tokonya, gak akan ikut2 ngelayani customer, gak blusukan ke pasar untuk kulakan, gak akan tiap minggu ngitungin stok yang tersisa, atau tiap malem ngerekap penjualan hari itu seperti toko kelontong di pasar tradisional... Semua sudah running autopilot lewat suatu sistem baku. Pemiliknya, mungkin asyik jalan-jalan atau cari lokasi untuk buka Indomaret/Alfamart berikutnya. Seberapa sulit suatu usaha dijadikan autopilot? Sulit sekali nggak, tapi butuh waktu. Waktu yang akan menemukan dan merumuskan masalah, lalu owner/pemiliknya akan mencari solusinya. Setelah masalah dan solusi dirumuskan, tinggal dimasukkan ke dalam sistem. Saat ada masalah yang sama terjadi, biar sistem yang menghandle. Seperti itu. Kami

Mengurus SIM Perpanjangan Online

Gambar
Tahun 2015, sekembalinya kami dari Jepang, kami banyak mengurus dokumen. Banyak dokumen yang sudah expired karena gak pernah diurus selama kami di Jepang. Salah satunya SIM. Kami, saya dan istri membuat SIM di Oktober 2015 - dan masa berlakunya adalah sampai hari ulang tahun di 2021. April ini SIM istri saya akan habis masa berlakunya. Beberapa bulan sebelum habis, saya udah mikir strategi untuk perpanjangannya, karena di masa pandemi, antrian panjang, ribet urusan formulir, penjatahan, ditambah ada 3 anak kecil yang harus diurus di rumah, tentu gak akan mudah.  Tiba-tiba, di awal April ada pengumuman penting dari Korlantas Polti bahwa perpanjangan SIM bisa dilakukan online mulai pertengahan April. Wow, the timing couldn't be better, pas akhir April SIM expired, dan perpanjangan SIM daring bisa dilakukan di pertengahan April. Aplikasinya bisa  diunduh di PlayStore (dan AFAIK, belum ada di iOS).  Setelah saya download, dan dilanjutkan dengan proses verifikasi, mulailah proses untuk

Cara Kaya Orang Kaya

Dulu, saya punya prinsip tidak mau berhutang. Dalam bentuk apapun. Saat membeli apapun. Kalaupun berhutang, saya pastikan nilai utang itu sekecil mungkin - atau angsurannya sekecil mungkin. Definisi kecil itu 5-10% dari apa yang dihasikan tiap bulan. Termasuk membeli barang menggunakan kartu kredit. Begitu tagihan keluar, langsung dilunasi. Saya tidak pernah memberi kesempatan bank untuk mendapatkan bunga dalam bentuk apapun dari saya. Kalau perlu, saya akan manfaatkan habis-habisan cash back dari kartu kredit... dan saya (bangga) menjalankan prinsip itu. Setidaknya sampai beberapa waktu lalu. Prinsip ini mulai berubah sejak saya mempelajari bagaimana orang kaya menggunakan uangnya (atau uang orang lain) untuk menambah kekayaannya. Prinsip yang saya pegang ternyata salah. Setidaknya ada bagian yang harus saya revisi ketika saya punya tujuan financial independence . Jika saya terus-terusan memegang prinsip tidak berhutang dalam bentuk apapun, maka tidak membutuhkan akuntan lulusan S3 un