Running Autopilot Business

 Seberapa sulit menjadikan suatu usaha autopilot? 

Usaha yang autopilot adalah usaha yang sudah memiliki sistem baku, dan bisa dijalankan dengan sedikit (atau bahkan tanpa) sentuhan tangan. Waralaba Indomaret atau Alfamart adalah contoh usaha yang autopilot - pemiliknya gak akan jagain tokonya, gak akan ikut2 ngelayani customer, gak blusukan ke pasar untuk kulakan, gak akan tiap minggu ngitungin stok yang tersisa, atau tiap malem ngerekap penjualan hari itu seperti toko kelontong di pasar tradisional... Semua sudah running autopilot lewat suatu sistem baku. Pemiliknya, mungkin asyik jalan-jalan atau cari lokasi untuk buka Indomaret/Alfamart berikutnya.

Seberapa sulit suatu usaha dijadikan autopilot? Sulit sekali nggak, tapi butuh waktu. Waktu yang akan menemukan dan merumuskan masalah, lalu owner/pemiliknya akan mencari solusinya. Setelah masalah dan solusi dirumuskan, tinggal dimasukkan ke dalam sistem. Saat ada masalah yang sama terjadi, biar sistem yang menghandle. Seperti itu.

Kami (saya dan istri) memulai suatu startup yang mulai running. Bukan... bukan startup canggih berbasis teknologi ala gojek atau Traveloka. Startup biasa yang istri saya hobi dan saya bisa support di sisi teknologi. Kami terus memfokuskan agar startup ini running autopilot. Sudah running, tapi masih belum autopilot - biarkan waktu yang mematangkan sistemnya. Profit margin di kisaran 20% dari harga pokok produksi, tapi masih belum waktunya untuk scale-up - sekali lagi biarkan waktu yang mencari momentum untuk scaling-up-nya. Scale-up kalau belum terbentuk sistem yang kuat, bisa ambrol. Target kami 6 bulan ke depan sudah bisa autopilot - dan start untuk start up berikutnya.

Saya ada beberapa gagasan startup yang sudah saya riset mendalam. Start up yang hanya bisa gagal kalau gak dijalankan. Tapi ya, resource kami terbatas, terutama di waktu. 

Cerita lain.

Saya dulu melihat beberapa rekan (bukan kolega dosen ya), keluarga2 muda dengan satu atau dua anak yang masih kecil, dan walaupun mereka lulusan luar negeri, tapi gak punya kerjaan ngantor. Mereka-mereka ini sudah mencapai financial freedom. Hari ini masih keliatan di Malang, eh, besoknya sudah posting foto keluarga di luar negeri - sampai 2-3 bulan ke depan (!) - dulu ya sebelum pandemi. Sehari-hari kerja apa, juga gak terlalu jelas. Ada yang buka caffee, ada yang jual beli dan koleksi mobil, ada yang interior desainer, ada yang cari kesibukan lewat aktivitas2 sosial. Tapi menurut saya, kerjaannya itu cmn kedok aja biar keliatan kerja. Nggak kerjapun mereka gak ada masalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 

Dari mana duit mereka? Dari mana ya? Saya juga cmn menduga-duga aja. Kalau saya sebagai orang tua, bisa mengumpulkan aset 20-30M dari hasil kerja 20-30 tahun terakhir, ya saya gak akan menahan2 untuk berbagi aset 10-20M ke anak-anak saya... dan anak-anak saya gak harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dengan layak. Tentu saja saya berharap mereka bisa mengelola aset itu dan menumbuhkannya. Tapi kalaupun nggak, mereka juga gak harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.

Waktu anak saya usia 20-30 tahun dan mau nikah saya bilang ke anak-anak saya, "Nih nak, papa mama kasih aset 20M dalam bentuk property yang bisa disewakan. Tiap bulan hasil bersihnya udah 100-200 juta, jadi gak usah repot kerja ngantor. Kalo ada kebutuhan, ya ambil ajalah..."

Kira-kira seperti itu skenario keluarga-keluarga muda yang saya temui itu. 

Nah, buat keluarga-keluarga muda seperti itu, kalau butuh aktivitas, saya punya selusin ide startup. Startup yang hanya bisa gagal kalau gak dieksekusi.

I have ideas, you have one valuable resource that I don't have, yaitu WAKTU untuk mengeksekusi ide. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Charis National Academy (2)

Mengurus Visa Korea di Jepang

Day care di Jepang dan keadilan sosial