Iman kepada Tuhan

Nggak tau udah berapa kali saya pingin posting topik ini, tapi nggak kesampaian terus karena ngerasa ada yang lebih penting untuk dikerjakan. Judulnya rada-rada garing. Yang nggak percaya Tuhan, tetep boleh baca - sapa tau nanti jadi beriman. Yang sudah beriman, semoga bisa lebih beriman. Saran saya, bacanya sampe selesai, karena kalo dibaca hanya separuh nanti bisa menimbulkan salah persepsi.

Ceritanya, sudah hampir 8 bulan saya tinggal di Jepang, negara yang memberikan kebebasan seluas-luasnya untuk beribadah, tapi 85% lebih warganya malah tidak memeluk agama apapun. Statistik menunjukkan bahwa kurang dari 15% warga Jepang yang memiliki dan menjalankan ibadah agama (sumber http://en.wikipedia.org/wiki/Religion_in_Japan). Saya juga ngerasa kayak gitu, jaraaaaanng sekali muncul issue tentang keagamaan atau Tuhan (lah wong orang2nya nggak beragama, ya ngapain juga debat ato sampe berselisih tentang agama). Hampir nggak ada acara religi di televisi (sapa juga yang mau nonton?). Nggak ada hari libur karena hari besar suatu agama. Hari liburnya ya hari ulang tahun kaisar, hari anak, hari konstitusi, dan lain2. Agama sepertinya bukan bagian dari kehidupan sosial.

Nah, di sini muncul titik crucial yang menantang iman orang2 beragama.

Menurut klaim orang beragama, seharusnya mereka yang nggak percaya Tuhan (ato diistilahkan sebagai orang kafir ato fasik ato whatever istilah orang beragama), hidupnya akan susah. Akan muncul berbagai kesulitan karena mereka nggak dekat dengan Tuhan, nggak doa, dan cuman mengandalkan diri sendiri. Kutipan ayat-ayat di Kitab Suci banyak yang menuliskan hal itu. Dan... bicara tentang fakta, Jepang bukan negara yang ecek-ecek. Bukan negara miskin. Etos kerja penduduknya (yang nggak percaya Tuhan itu) sudah diakui dunia bahwa mereka adalah orang-orang yang disiplin, pekerja keras, tidak mudah menyerah, menjunjung tinggi nasionalisme (plus negara yang tercatat memiliki angka harapan hidup yang terpanjang). Teknologi yang dihasilkan oleh perusahaan Jepang (yang kemungkinan besar dikelola oleh orang2 yang nggak percaya Tuhan) juga tersebar ke seluruh dunia - dan diakui sebagai teknologi yang berkualitas. Tiap tahun muncul teknologi terbaru yang lebih canggih, lebih efisien, lebih murah dan membuat hidup lebih nyaman. Dunia mencatat bahwa kekuatan ekonomi terbesar setelah Amerika adalah Jepang (yang 85% penduduknya nggak percaya Tuhan). Pemerintahan dari yang paling tinggi sampe jajaran terendah, bersih dari korupsi dengan penduduk yang well-mannered. Semacam kontradiksi dengan klaim orang2 beragama yang mengatakan bahwa mereka yang nggak percaya Tuhan akan menjadi sengsara.

Keadaan tersebut, sedikit (atau banyak) berlawanan dengan Indonesia, yang mewajibkan penduduknya memeluk agama. Begitu bayi lahir di Indonesia, orang tua harus memberi si anak agama. Sejak masuk SD, anak diwajibkan untuk mendapatkan pendidikan agama - dan berlangsung sampai kuliah! (Iya, W-A-J-I-B...!!). Jadi sejak SD, anak Indonesia sudah kenal Tuhan. Diajarkan nilai-nilai Tuhan dalam agama yang dipeluknya. Hasilnya?

Seharusnya, orang-orang yang kenal Tuhan sejak kecil, lebih berbudi-pekerti, lebih mempraktekkan kasih, lebih mengenal toleransi, dan... lebih diberkati. Tapi kenyataannya nggak seperti itu. Sumber daya manusia Indonesia masih belum diakui seperti halnya orang Jepang (masalah korupsi dan penegakkan hukum yang nggak jalan lebih terdengar ketimbang prestasi yang dihasilkan). Dari segi kekayaan (pendapatan per kapita warga), Indonesia masih kalah jauh dengan Jepang. Apalagi untuk urusan penguasaan teknologi, sepertinya masih jaauuuhh tertinggal... Issue2 keagamaan masih sering muncul, jadi perdebatan, permasalahan sampe sumber pertikaian.

Ada apa ini? Negara (Jepang) yang nggak bertuhan kok malah nampak lebih baik ketimbang negara (Indonesia) yang bertuhan? Apa yang salah?

Saya nggak bisa jawab pertanyaan itu (emangnya siapa saya kok berani2nya menghakimi negara mana yang lebih baik? Siapa saya kok berani2nya mempertanyakan wisdom-nya Allah).

Saya berkesimpulan, bahwa kaya atau miskin, kelakuan baik atau buruk, mampu berinovasi ato nggak, kerja keras atau malas, sehat atau sakit, nggak ada hubungannya dengan agama. Agama nggak bikin seseorang jadi kaya. Agama nggak bikin seseorang jadi pekerja keras. Agama juga nggak bikin seseorang menjadi selalu sehat.

Lalu?

Bagi orang2 yang nggak beragama dan nggak percaya Tuhan, mereka hanya fokus pada apa yang ada di dunia sekarang. Setelah mati, selesai. Mati seperti tidur lelap yang nggak pernah bangun. Nggak ada pertanggungjawaban atas apa yang dilakukan saat masih hidup. Kalo mereka di dunia melakukan hal-hal yang baik, punya etos kerja yang baik, disiplin, malu untuk melakukan korupsi, dll, itu dilakukan bukan termotivasi oleh takut karena adanya penghakiman setelah kematian. Bukan takut dengan dosa, tapi simply karena mereka punya harga diri untuk nggak dipandang jelek oleh orang lain. Mereka yang nggak disiplin akan dipandang rendah oleh komunitas di sekelilingnya. Orang yang ketauan korupsi (atau berbuat curang) akan dikucilkan. Orang yang gampang nyerah, nggak akan dianggap "orang" oleh teman2nya. Mereka yang ringan tangan, mau membantu orang lain, mau memberi orang lain yang kesusahan akan dianggap sebagai gaya hidup yang lebih dipandang baik oleh masyarakat. Takut dosa atau penghakiman setelah mati, sama sekali bukan motivasi melakukan hal-hal yang baik tersebut.

Bagi orang2 beriman dan percaya Tuhan, segala macam perbuatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan setelah mati. Perbuatan baik yang dilakukan, dalam iman saya, adalah karena saya sudah menerima keselamatan dari Tuhan. Keselamatan tersebut saya terima karena iman saya kepada Kristus bahwa penebusan dosa telah dilakukanNya di atas salib. Bukti bahwa keselamatan (setelah mati) yang sudah saya terima adalah perubahan gaya hidup yang diekspresikan dalam tindakan sehari-hari, yaitu menjauhi (dan berusaha untuk tidak melakukan) tindakan dosa. Dengan motivasi ini (atau motivasi mempertanggungjawabkan segala perbuatan di bumi setelah mati), seseorang tentu bisa menjadi lebih baik, lebih disiplin dalam bekerja, nggak berbuat curang atau korupsi, nggak gampang menyerah, bisa berbagi kasih dengan orang lain... Dan saya cukup yakin, bahwa jika gaya hidup seperti itu diterapkan, cepat atau lambat pasti akan sukses.

Kesimpulannya?

Kalau mau sekedar sukses, punya banyak uang, punya banyak teman di dunia, menikmati hidup, nggak perlu repot2 beragama (atau percaya Tuhan). Dengan gaya hidup yang tepat (disiplin, kerja keras, fokus, punya positive attitude, mau terus belajar, menjaga kesehatan, memberi), akan bisa membuat seseorang sukses.

Tapi apa yang terjadi jika penghakiman setelah kematian benar2 ada? Apa yang terjadi, jika setelah mati, kita dihadapkan dengan hanya 2 pilihan, yaitu hidup kekal di sorga atau menderita di neraka? Mereka yang nggak percaya Tuhan, sedang menghadapi resiko kehidupan dengan taruhan "kekekalan". Penyesalan yang tak pernah berakhir... "Seandainya dulu aku di dunia punya iman kepada Tuhan yang bisa memberikan keselamatan setelah mati..."

Tanpa iman yang menyelamatkan, setelah mati semua sudah terlambat. Tidak ada tombol Ctrl-Z untuk meng-"undo" kehidupan dan memulai dari awal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Charis National Academy (2)

Mengurus Visa Korea di Jepang

Day care di Jepang dan keadilan sosial