Kenapa Ph. D butuh 3 tahun (part 1)
Dulu saya bertanya2 (ke diri sendiri)... S3 itu belajar apa sih, kok sampe belajarnya minimal 3 taon? Apa nggak lebai belajar 1 bidang aja sampe butuh waktu 3 taon. Tiga minggu terakhir saya jadi sedikit "ngeh" kenapa S3 butuh waktu 3 taon (ato bisa jadi lebih).
Ceritanya, saya baru saja nyelesaikan paper pertama... Judulnya: "Compressed Sensing for MR Imaging of Respiratory Organ with Partial Random Circulant Matrices", abstraknya (yang nggak relevan buat ditulis di blog ini - tapi karena saya yg punya blog, jadi I'll write anyway) berbunyi kayak gini: "The use of Circulant matrix as the sensing matrix in compressed sensing (CS) scheme has recently been proposed to overcome the limitation of random or partial Fourier matrices. Aside from reducing the computational complexity, the use of circulant matrix for MR image offers the feasibility in hardware implementations. This paper presents the simulation of compressed sensing for MR imaging of respiratory organ with circulant matrix as the sensing matrix. The comparisons of reconstruction of three different type MR images using circulant matrix are investigated in term of number of sample, number of iteration and signal to noise ratio (SNR). The simulation results show that Circulant Matrix works efficient for encoding the MR image of respiratory organ, especially for smooth and sparse image in spatial domain."
Waktu yang dibutuhkan untuk bikin paper itu 3 minggu dengan supeeer-dupeeer-fokus (ato ekivalen dengan... 180 jam - asumsi seminggu 60jam). Selama 3 minggu itu dipenuhi dengan kegiatan membaca jurnal2 merk "sudah-dibaca-sampe-mata-pedes-tapi-msih-gak-jelas" (20 ato 30 jurnal?), baca chapter2 di beberapa ebook (yang didapat dengan membajak), diskusi dengan diri sendiri (karena saya nggak punya partner yg sama bidangnya di lab), membuat log penelitian, simulasi pake MatLab, dan nggak lupa nonton drama Jepang/film hollywood ketika suntuk. Akhirnya, siang ini jadilah paper 4 lembar (yg terdiri dari 2501 kata).
Bangga ya?
Nggak. Sama sekali.
Kalo dibandingkan paper yang muncul di international conference (ala IEEE ato Elsevier), masii jaooh banget... Jaooh di apanya? (1) Ketajaman latar belakang penelitian (2) Ke-solid-an dasar teori (3) Kematangan metode meneliti (4) Memberikan konklusi.
Jurnal2 yang dipublish secara internasional, latar belakangnya jelas dan nggak dipaksa ada (nggak di-ada2kan). Landasan teori yang ditulis juga solid - hasil dari teori2 yg sudah ada dari penelitian2 sebelumnya. Setiap rumus yg muncul, referensinya jelas dan nantinya akan dipakai untuk memecahkan masalah. Metode meneliti ato pemecahan masalahnya juga kreatif. Mereka menggunakan sesuatu yg blom pernah muncul/dipakai pada penelitian sebelumnya (ato kalopun pernah dipake, ada sesuatu yang baru yang disajikan). Jadi nggak sekedar mengulang dari yg sudah ada.
Untuk seorang Ph. D wanna-be (dan gonna-be) seperti saya, baca jurnal2 internasional kayak gitu bikin minder... Kalo ditanya, kenapa level saya nggak bisa (ato belum) sampe segitu. Simply karena fondasinya msih lemah. Teori yg dipunyai masih cetek. Ketika di jurnal itu muncul suatu istilah, saya nggak tau itu apa. Ketika ada rumus muncul, saya harus menelusuri di referensi/penelitian sebelumnya bagaimana rumus itu didapat (dan apa pengaruhnya). Ketika menelusuri referensi sebelumnya, muncul lagi rumus lain yang nggak saya mengerti - dan harus kembali menelusuri di referensi sebelumnya, yang lalu muncul istilah, rumus lain yang nggak saya mengerti dan begitu seterusnya (that's explain munculnya term "sudah-dibaca-sampe-mata-pedes-tapi-masih-gak-jelas"). Penelusuran referensi ini bisa sampe 3-4 level ke belakang... Kadang bisa mentok di rumus2 umum SMA ato Kalkulus dasar. Beberapa kali saya berkorespondesi dengan rekan dosen matematika, Pak Ferry yang lagi ngambil S2 di Belanda karena terbentur dengan term ato rumus yg membingungkan (later on I realized, term dan rumus2 yang saya tanyakan itu sebenernya dalam kategori basic math science).
Dengan fondasi teori saya yang msih terbatas, tentu sulit untuk bisa nulis paper sekelas jurnal internasional. Padahal agar bisa dapet Ph. D, HARUS nulis 2 paper yang diterbitkan oleh jurnal internasional. Di sinilah waktu 3 tahun itu menjadi penting... Dasar2 teori harus diperkuat. Berbagai bidang ilmu yang nyambung dengan topik penelitian, harus dikuasai basic-nya secara mandiri (karena kuliah S3 hanya dikasi 14 kredit - yang harus dimanfaatkan sebaik2nya untuk ngambil mata kuliah emang penting).
Kecuali orang yang bener2 brilian, menguasai berbagai basic ilmu ini akan nggak bisa sebulan dua bulan baca buku lalu langsung ngerti... Butuh ketekunan. Dan dari kasus inilah waktu 3 tahun itu berasal.
Semangat, PakWind!!!!
BalasHapusHe (GOD) has made everything beautiful in its time.. ^^
Ya, banyak terasah, makanya lulusan S3 di sana ya hampir pasti berkualitas. Lha bayangkan, harus nulis di 2 jurnal internasional. Bukan main-main itu. Saya yakin disana gak ada model S3 palsu.
BalasHapusIya pak... Apalagi kalo nggak pinter2 ngatur waktunya, bisa2 3 tahun itu berlalu gitu aja. :)
BalasHapus