Skema Beasiswa DIKTI

Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI) merupakan direktorat yang paling sakti untuk mengatur seluruh perguruan tinggi se-Indonesia Raya. Hidup-matinya suatu perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, ada di tangan DIKTI. Kalo misalnya tiba-tiba DIKTI mengeluarkan peraturan bahwa seluruh universitas yang berawalan "M" harus ditutup, maka detik itu juga saya jadi jobless. Tapi aturan semacam itu tidak pernah muncul...

Salah satu isu yang menjadi concern DIKTI adalah tentang sumber daya dosen. Sesuai dengan UU nomer [entah berapa] tentang pendidikan nasional, dosen diwajibkan memiliki strata pendidikan minimal satu tingkat lebih tinggi dari para mahasiswa yang diajarnya. Dosen yang ngajar mahasiswa S1 wajib memiliki gelar S2. Dosen yang ngajar mahasiswa S2 wajib memiliki gelar S3, dan dosen yang ngajar mahasiswa S3, wajib memiliki gelar S4.

Nah, mari berbicara fakta. Tahun 2009, dari 150rb dosen yang ada di Indonesia, ternyata yang memenuhi persyaratan tersebut hanya 57.4% (dari target 70% yang ditentukan DIKTI)... Saya include di dalamnya dua tahun yang lalu (masih bergelar S1 tapi nekat mengajar mahasiswa S1)...

Karena dosen adalah ujung tombak pendidikan tinggi, maka kualitas keilmuan-nya perlu ditingkatkan (agar berskala internasional). Sejak tahun 2000-an, pengiriman dosen untuk studi lanjut ke luar negeri lebih banyak dilakukan melalui skema pendanaan bantuan (beasiswa) luar negeri kepada individu atau melalui perguruan tingginya masing-masing. Kalo perguruan tinggi-nya super-duper kaya, ya nyekolah satu ato selusin dosennya ke luar negeri pasti nggak masalah. Tapi kenyataannya, nggak banyak perguruan tinggi yang mampu nyekolahkan dosennya ke luar negeri... Akibatnya, percepatan peningkatan kualitas dosen berjalan sangat lambat, dan critical mass dosen berpendidikan kualitas internasional sulit untuk dicapai (kalimat terakhir hasil ngutip dari website DIKTI, hihi2...).

Kalo ditotal2, biaya studi seorang dosen untuk bisa menyelesaikan S2 (selama 2 tahun) di luar negeri (seperti Australia, Amerika, ato Eropa) adalah 600jt, sementara untuk S3 sekitar 1M (1 dengan 9 buah angka nol).

Mari kita belajar matematika. Seorang dosen berusia 28 tahun baru lulus S2. Dia ingin melanjutkan S3 ke luar negeri. Untuk itu, ia menabung dari gajinya agar bisa terkumpul 1M untuk studi S3-nya. Jika dalam setahun dosen tersebut dapat mengumpulkan 50juta, berapa abad dosen tersebut bisa mengumpulkan uang untuk studi lanjut S3? Atau pertanyaan yang lebih relevan, siapakah dosen yang malang tersebut?

Jadilah DIKTI merancang skema beasiswa luar negeri untuk dosen sejak tahun 2008. Duitnya diambil dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang nilainya ratusan milyar. Target DIKTI adalah bisa membiayai 1000 dosen tiap tahun untuk studi ke luar negeri...

Bisa dibayangkan efek dari cita-cita mulia DIKTI ini. Dalam 5-10 tahun ke depan, akan ada ribuan dosen lulusan universitas ternama luar negeri (Eropa, Australia, Amerika, dan nggak ketinggalan Jepang), dengan kualifikasi internasional, mengajar dan mendidik puluhan ribu generasi muda Indonesia. Akan terjadi peningkatan kualitas pendidikan secara masif di banyak perguruan tinggi, mahasiswa akan mendapatkan kualitas pendidikan yang kurang lebih setara dengan apa yang dipelajari dosen saat dia menempuh studinya di luar negeri... Rencana yang brilian (ketimbang duit APBN terdistribusi di kantong2 koruptor).

Tapiii... apa yang terjadi di lapangan? Peminatnya bejibun-kah? Dosen2 terlalu antusias-kah sampe DIKTI kewalahan? Bukan... Malah sebaliknya. Target 1000 dosen nggak bisa terpenuhi. Tahun 2009, cuman ada 590 dosen yang berangkat studi ke 27 negara. Tahun 2010 turun jadi 460 dosen (saya harus diikutkan gelombang berikutnya karena di gelombang saya terlalu sedikit pelamar). Loh kok?? Apa yang salah? Syaratnya terlalu sulitkah? Seleksinya terlalu ketatkah?

Sepanjang pengetahuan saya NGGAK SULIT. Lah, kok terus nggak banyak yang dikirim? Nah itu... Saya juga tanya kenapa.

Jadi... untuk mahasiswa2 saya yang lulus tahun ini (ato taon2 depan), dan kepingin ngelanjutkan studi di luar negeri (Australia, Eropa, Jepang), dengan dibiayai penuh lewat skema beasiswa DIKTI (kalo msi ada) dari mulai tempat tinggal, sarapan, makan siang, makan malam, jalan2, belajar, asuransi kesehatan, buku, sampe tabungan setelah lulus, silahkan kontak saya japri.

Dengan catatan kecil, setelah lulus mau mengabdi jadi dosen selama 2 x masa studi + 1 tahun - (saya nggak ikut2 bikin aturan itu loh).


Komentar

  1. Wah kalimat terakhir itu agaknya jawaban mengapa nggak banyak peminat ke Dikti pak...:)

    F.K.

    BalasHapus
  2. Wah, tulisannya sangat mencerahkan pak,

    saya sendiri saat ini sudah diterima di Tokyo Tech Jepang, namun sayangnya harus membiayai kuliah sendiri karena saya gagal di beasiswa MEXT.

    Saya juga ingin menjadi dosen, (baru calon). untuk kasus saya ini sebaiknya bagaimana??
    bahkan untuk daftar online di situs dikti saja saya tidak bisa karena tidak memiliki NIP dan NIK sehingga saya tidak bisa mendapatkan registraasi online. mohon pencerahannya??

    BalasHapus
  3. @Anonymous: bisa kontak saya via japri ya, di windraswastika[at]yahoo[dot]com.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Charis National Academy (2)

Day care di Jepang dan keadilan sosial

Mengurus Visa Korea di Jepang