Mesin Waktu

Judulnya mungkin cukup provokatif untuk membuat beberapa orang meluangkan waktu membaca blog ini (di tengah ke-sibuk-an atau ke-nganggur-annya). Tapi, sebelum dilanjutkan membaca, let me clarify bahwa sampai saat ini saya belum menciptakan mesin waktu seperti di film-film, yang memungkinkan seseorang berkelana ke masa lalu atau ke masa depan dan bertemu dengan versi muda atau tua dirinya sendiri. Riset saya di sini tentang compressed sensing untuk citra medis, juga nggak ada kena-mengenanya dengan mesin waktu.

Jadi, lalu kenapa postingnya dikasi judul "Mesin Waktu"?

Salah satu film tentang berkelana ke masa lalu adalah film The Time Traveler's Wife (2009) yang menceritakan romantika tentang seorang istri yang bersuamikan Time Traveler. Si suami memiliki gen yang membuat dirinya secara acak "pergi" ke masa silam. Di suatu waktu, dia bertemu dengan istrinya yang masih berusia 6 tahun, dan "calon" istrinya inipun jatuh cinta kepadanya. Di masa sekarang, mereka menikah dan memiliki anak, sementara si suami masih secara acak pergi dan datang ke masa lalu... Interesting movie, tapi trilogi Back to the Future-nya Steven Spielberg (1985, 1989, 1990) masih lebih bagus.

Jadi, kenapa sih postingnya dikasi judul "Mesin Waktu"?

Mari membayangkan. Seandainya mesin waktu ada di depan kita. Kita bisa masuk dan mengatur mesin itu untuk bisa berkelana ke masa lalu, bertemu dengan diri kita versi muda, apa yang akan kita lakukan? Atau lebih spesifik lagi, pesan apa yang bisa kita berikan kepada diri kita versi muda agar tidak sampai melakukan kesalahan yang berakibat fatal? Ada orang2 (para kandidat miss universe ato miss-miss yang laen) menjawab dengan filosofisnya, "Saya tidak akan mengubah apapun dari diri saya, karena dari kesalahan tersebut membuat saya belajar untuk menjadi lebih baik." (yang kemudian disambut dengan gemuruh tepuk tangan dari para hadirin - entah bertepuk tangan karena jawaban itu ato karena yang lain).

Saya kira, jawaban seperti ini muncul karena mesin waktu masih belum ada. Seandainya perjalanan menembus waktu benar2 bisa dilakukan, mungkin jawabannya akan berbeda. Mungkin jawabannya adalah, "Saya bisa berada di sini, karena saya menggunakan mesin waktu. Waktu saya berusia 60 tahun dan saya bukan menjadi siapa-siapa, saya berpikir... Saya seharusnya bisa menjadi miss-universe ketika berusia 20an. Agar hal itu dapat terlaksana, saya perlu memberikan pesan kepada saya yang masih muda agar jangan sampai setelah berusia 60 tahun tapi masih tetap belum menjadi apapun. Akhirnya, saya yang berusia 60 tahun melakukan perjalanan menembus waktu, kembali ke 50 tahun silam ketika saya berusia 10 tahun. Saya memberikan pesan2, to-do-list dan don't-do-list kepada saya yang masih 10 tahun agar dapat mengambil keputusan yang tepat untuk menjadi miss-universe... Saya yang masih 10 tahun segera belajar dengan giat berdasarkan to-do-list dan don't-do-list yang diberikan oleh saya versi 60 tahun. Semua to-do-list dan don't-do-list itu begitu akurat, sehingga akhirnya membawa saya ke panggung miss-universe ini... Dan pasti ketika saya kelak berusia 60 tahun, saya tidak akan menyesal karena telah melakukan yang terbaik."

Ya, lupakan tentang jawaban imajiner dari kandidat-miss-universe itu... Let me propose a new way of creating a time-machine. Alih-alih kita berkunjung ke masa lalu, mengapa kita di masa depan tidak mengunjungi kita di masa sekarang? Kita di masa depan adalah imajinasi kita di masa sekarang.

Misalnya (sekedar contoh): saya di masa depan adalah seorang profesor bidang computer science, mendapatkan Ph. D dari Chiba University, Jepang. Melakukan postdoc di UK/USA selama 2 tahun, mendapatkan grant research dan penghargaan dari beberapa organisasi internasional karena kontribusi research untuk dunia medical imaging. Saya membayangkan... Jika saya di masa depan (dengan keadaan seperti yang disebut tadi) dapat melakukan perjalanan menembus waktu dan menemui saya di masa sekarang, (more-less) saya akan tahu apa yang akan disampaikan kepada saya di masa sekarang. Saya bisa membayangkan to-do-list dan don't-do-list yang diberikan kepada saya agar saya bisa menjadi seperti saya seperti yang tersebut di masa depan. Ketika saya melakukan to-do-list dan don't-do-list yang ada, maka perjalanan waktu secara tepat akan menggiring saya kepada garis masa depan seperti yang seharusnya. Tapi jika saya melenceng dari to-do-list dan don't-do-list itu, perjalanan waktu akan membawa saya kepada garis masa depan yang lain - which is mungkin worse (or better?).

Intinya?

Coba kita membayangkan hidup seperti apa yang kita inginkan di masa mendatang... (mungkin ingin berprofesi sebagai pengusaha, sebagai profesional, menjadi dokter spesialis, menjadi profesor, mendapatkan beasiswa, punya suami/istri, anak, penghasilan sekian digit per tahun, bisa travelling ke luar negeri, dsb). Bayangkan kita di masa depan (yang telah mengalami itu semua) menembus masa lalu dan menemui kita sekarang. Kira2 apa yang akan disampaikan agar bisa mendapatkan itu semua? Apa saja to-do-list dan don't-do-list yang disampaikan kepada kita? Setelah kita dapatkan to-do-list dan don't-do-list, mengapa nggak segera kita lakukan? Waktu akan membentuk rel-nya, usaha kita sebagai daya dorongnya (dan Tuhan -if you believe in God- sebagai perancang dari semua skenarionya), sehingga membawa kita kepada titik yang kita harapkan. Isn't that wonderful to be alive?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Charis National Academy (2)

Mengurus Visa Korea di Jepang

Day care di Jepang dan keadilan sosial