Prayer and science


Science is interesting topic indeed.

Kalo saat ini kita bisa menikmati televisi, hape, mobil, rumah, pakaian, komputer, internet, ... semua karena ada para ilmuwan yang dengan tekun bekerja di laboratorium, merumuskan konsep sains, dan kemudian menerapkan konsep-konsep sains tersebut dalam industri.

Tapi, somehow tetap ada banyak hal yang sampe sekarang nggak bisa dijelaskan dengan ilmu pengetahuan.

Doa, misalnya.

Belum pernah ada saintis yang merumuskan tentang cara kerja doa. Bagaimana doa dapat menyembuhkan penyakit. Bagaimana doa dapat mengubah suatu keadaan. Misalnya, seseorang sedang berdoa untuk kondisinya yang sedang kesulitan, lalu setelah berdoa, kondisinya berangsur-angsur baik... Well, Praise God! The prayer was answered! Tapi tidak semua orang mengalami hal yang sama. Orang lain dengan kondisi yang sama, dengan ucapan doa yang sama, bisa jadi tidak menjadi lebih baik. Itu sebabnya, doa tidak dapat dijadikan sains. Ketika diterapkan pada orang lain, walaupun dengan kondisi yang sama dan metode berdoa yang sama, namun hasilnya dapat berbeda.

Doa bukan sains.

Tidak dapat dipelajari. Tidak dapat diteliti. Tidak ada metode ilmiah yang bisa diterapkan agar sebuah doa menjadi lebih ampuh. Tidak juga dapat dioptimasi agar memiliki efisiensi yang tinggi.

Doa adalah pernyataan iman.

Walaupun tidak dapat diteliti, tapi hasil dari doa dapat diteliti secara ilmiah.

Koran Chicago Sun-Times edisi Januari 1986, menuliskan tentang seorang kardiolog (ahli jantung) yang meneliti efektifitas doa terhadap pasien di sebuah rumah sakit.

Randy Byrd, kardiolog itu, membuat dua buah grup pasien. Grup yang pertama adalah grup pasien yang didoakan, berisi daftar dari 192 pasien yang dipilih secara acak. Grup kedua adalah grup yang tidak didoakan, berisi 201 pasien yang (juga) secara acak dipilih. Kesemua pasien tersebut dirawat di ICU dan memiliki penyakit seperti serangan jantung, gagal jantung, dan berbagai penyakit jantung lain.

Para pendoa diberikan daftar nama grup pertama, yang kemudian secara konsisten mendoakan untuk kesembuhan mereka. Anyway, para pendoa itu nggak kenal dengan para pasien.

Dan hasilnya sangat menarik. Pasien di grup pertama memiliki komplikasi penyakit yang lebih sedikit dibandingkan pasien di grup kedua. Pasien di grup pertama juga lebih sedikit yang meninggal dunia. Sementara, pasien di grup kedua 5 kali lebih rentan terhadap infeksi (sehingga membutuhkan antibiotik) dan tiga kali lebih rentan mengalami gagal jantung. Hasil penelitian ini dipublikasikan di jurnal American Heart Association (Byrd R. C., Positive therapeutic effects of intercessory prayer in a coronary care unit population. South Med J 1988;81:826-9. PMID 3393937 - original article can be found here: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/3393937)

Prayer is not science.
It  is something beyond the science.
It is the faith in a prayer that matters.

Komentar

  1. Salam kenal,

    saat ini saya kuliah jurusan Sistem Informasi (di Indonesia tentunya, hehehe....)

    saya ingin mencoba mengejar S2 ke jepang jika memungkinkan.

    yang ingin saya tanyakan, kira-kira di Jepang yang sesuai dengan jurusan saya Sistem Informasi apakah ada?
    adakah Universitas di Chiba yang sesuai dengan jurusan saya?

    mohon info-nya,
    nantinya insyaallah saya ingin gunakan sebagai referensi untuk mencari professor

    terima kasih
    mohon maaf kalau kata-kata saya kurang sopan. harap di maklumi

    wassalam, :)

    Muhammad Iril
    iril.rf(at)gmail.com

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Charis National Academy (2)

Day care di Jepang dan keadilan sosial

Mengurus Visa Korea di Jepang