Second Language Acquisition

Bagaimana kita bisa berkomunikasi melalui bahasa adalah hal yang menakjubkan. Saat masih usia 2-3 tahun, kita nggak pernah sadar bagaimana kita mengembangkan kemampuan berbahasa ini. Tiba-tiba saja, kita dapat berbicara, membaca, dan menulis. Bahkan saat tulisan ini diketik, saya seolah-olah nyaris tidak memikirkan apa itu kata kerja, kata benda, kata sifat, prefiks dan sufiks. Konon kabarnya, prefiks (atau awalan seperti "me", "mem", "di", "ber") dan sufiks (seperti "i", "an", "kan", "nya") sangat sukar bagi orang asing yang mempelajari Bahasa Indonesia. Padahal bagi yang first language-nya Indonesia, prefiks atau sufiks semacam itu, hampir tidak pernah kita pikirkan saat kita berbahasa.

SLA atau dalam bahasa Indonesia "Pemerolehan Bahasa Kedua" adalah bagaimana kita mendapatkan kemampuan berbahasa asing (selain bahasa asli kita). Ini juga tidak kalah menakjubkannya (misterius menurut saya) dibandingkan pemerolehan bahasa pertama. Saya mengembangkan kemampuan berbahasa Inggris (sebagai SLA) sejak SMP yang masuk dalam mata pelajaran intrakurikuler. Saya menghafal vocab, belajar grammar, berlatih membaca, mendengarkan, bercakap-cakap, dan menulis. Seperti halnya mendapatkan first language, bagaimana menguasai SLA ini juga sepertinya nggak disadari. Tahu-tahu kemampuan berbahasa itu nancap begitu saja di kepala (emm... beneran ada di kepala?).

Sekarang saya di Jepang, di mana 8 dari 10 orang yang saya temui (Statistik kasar - setidaknya di lab di mana saya melakukan research), tidak bisa berkomunikasi aktif dalam bahasa Inggris (apalagi bahasa Indonesia). Setiap hari, saya akan dipaksa untuk mendengarkan atau merespon dalam bahasa Jepang, yang merupakan second language buat saya. Minggu-minggu ini adalah proses SLA, mendapatkan bahasa kedua, yaitu bahasa Jepang. Saya mulai membaca buku-buku pelajaran Bahasa Jepang. Tapi SLA benar-benar misterius. Pertanyaan "toire wa doko desu ka?" (Di manakah toilet?) tiba-tiba dapat saya tanyakan kepada mbak-mbak informasi karena saya sangat kebelet pipis ingin tahu di mana letak toilet ketika jalan-jalan di sebuah mall. Saya cukup yakin di buku yang saya pelajari tidak pernah ada kalimat tersebut.

Hari ini, kami berencana ke Narita naik kereta api (yang sudah nggak ada api-nya lagi). Dengan mengikuti papan informasi, kami menuju ke line kereta jurusan Narita. Saat menunggu di kereta, rasanya ada yang kurang tepat. Jika kami salah naik kereta, maka akibatnya fatal - kami akan sampai di stasiun antah-berantah, dan semua jadwal perjalanan kami akan mundur. Saat duduk menunggu keberangkatan kereta, tiba-tiba tersusun kalimat pertanyaan kepada emak yang duduk di samping saya, "Sumimasen, kono densha wa Narita e ikimasu ka?" (Permisi, Apakah kereta ini menuju Narita?). Bagaimana emak tersebut merespon, sangat melekat dalam kepala saya, yaitu, "Ee... Narita ikunai" (Eee... Tidak ke Narita) - sambil tangannya memberikan isyarat bahwa kereta ini bukan ke Narita, "Tokyo ikimasu..." (Ke Tokyo). "Ahh... Arigatou!" Jawab saya, dan kami segera keluar dari kereta. Beberapa detik setelah kami keluar, pintu kereta tertutup dan pergi membawa emak dan penumpang di dalamnya ke Tokyo. Kami memandang keberangkatan kereta tersebut imajinasi liar apa yang akan terjadi jika kami masih tetap di dalam kereta tersebut.

Selain kepada emak tadi, saya merasa sangat berterimakasih kepada kalimat "Kono densha wa Narita e ikimasu ka?". Kalimat itu melekat sekali dalam kepala saya (dan kemungkinan, strukturnya juga akan atau segera terbentuk dalam kepala saya, sehingga ketika ada kalimat dengan struktur serupa akan lebih mudah dimengerti).

Beberapa istilah seperti "Kochira", "Dozou", "Soo... soo...", "So desu ne", "Honto?" juga terbentuk secara otomatis setelah beberapa kali istilah tersebut "dikenakan" kepada kami dalam berbagai keadaan.

Saya kira SLA adalah hal yang misterius... Dan dalam minggu-minggu ini, proses pemerolehan bahasa kedua untuk Bahasa Jepang akan saya alami. Saya akan menikmati salah satu keajaiban otak manusia.

Diketik di Narita Airport, 22 September 2010, Pk. 13.48.
(Menunggu istri yang lebih senang jalan-jalan ketimbang blogging seperti saya)

Komentar

  1. Saya membayangkan percakapan imajiner (entah terjadi beneran atau tidak)
    Windra:Sumimasen, kono densha wa Narita e ikimasu ka?
    Emak:Ee... Narita ikunai
    Windra:Ahh... Arigatou!
    Windra (ke Theresia): Walah, salah, bukne.. iki ngono sepur nyang tokyo..dudu nang narita, ayo mudhun! (bahasa aseli Arema)
    Theresia: oalah, pakne..salah to? yo wis, ayo mudhun ndang selak budhal sepur-e....

    BalasHapus
  2. Emak: [Terbengong2 dan speechless setelah mendengar bahasa arema...]

    BalasHapus
  3. omoshirokatta ... ^^

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Charis National Academy (2)

Day care di Jepang dan keadilan sosial

Mengurus Visa Korea di Jepang