Studi Lanjut Dengan Keluarga (?)

Beberapa minggu lalu, seorang kolega di tempat saya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi S3-nya ke Korea. Tentu saya ikut senang dengan semakin banyaknya kolega yang lanjut studi ke luar negeri. Rekan saya ini, masih muda (setidaknya lebih muda dari saya) dan sudah berkeluarga. Setahu saya, beliau berangkat sendiri ke Korea tanpa ditemani istri.

Saya mengalami masa itu. Masa di mana saya mendapatkan beasiswa studi lanjut ke luar negeri. Saya mendapatkan pengumuman penerimaan beasiswa itu... kapan ya? Mungkin sekitar awal tahun 2010 - di kondisi belum menikah. Pilihannya tentu lanjut studi dalam kondisi masing single atau menikah sebelum keberangkatan di bulan September.

Saya (kami) memutuskan untuk menikah dulu sebelum berangkat. It turns out to be the best decision. Bulan Juli 2010, kami menikah  dan bulan September kami bersama-sama berangkat ke Jepang.

Selama 5 tahun di Jepang, saya mengalami fase live as a husband, live as a single, live as a father with 1 child dan live as a father with 2 children.

Live as a husband: fase di mana kami hanya berdua dan tinggal di negara orang tanpa ada saudara dan teman. Tentu ada teman PPI sesama pelajar Indonesia, tapi tetap saja ketemunya hanya di kampus atau di akhir minggu untuk main tenis sama-sama. Karena kami hidup berdua sebagai suami istri di negara orang, ya kami somehow harus mandiri dan bekerja sama untuk menjalani (menikmati) hidup di negara orang. Istri saya tahu persis di mana, kapan dan bagaimana mendapatkan barang kebutuhan sehari-hari dengan murah. Kalau dia bilang "itu murah" artinya ya benar-benar murah dan you can't beat the price. 

Bukan hanya tentang uang. Ketika hidup berdua seperti ini di negara orang, semua pengalaman adalah pengalaman baru yang memang sebaiknya kita nikmati bersama sebagai suami istri. Ketika terjadi gempa dan tsunami besar di Jepang di 2011, kami mengalaminya bersama. Ketika terjadi gempa besar, saya sedang di Lab dan istri di apartemen sendirian. Kami sama-sama tidak paham bahasa Jepang, hari-hari setelah gempa dan tsunami itu, kami berada dalam kondisi tertekan. Apalagi setelah mendengar bahwa rekan si A, B, C... kembali ke Indonesia karena takut dengan keadaan Jepang. Kami takut iya. Tapi kami jalani itu bersama sebagai suatu pengalaman hidup sebagai suami dan istri.

Beberapa bulan setelah bencana alam besar itu, kami menjadi volunteer untuk membantu korban bencana alam melalui gereja lokal setempat. Ini juga suatu pengalaman yang memperkuat ikatan kami sebagai suami istri.


Tentu ada banyak lagi cerita yang saya harap saya bisa tuliskan lain waktu. Setidaknya kelak, anak-anak kami juga bisa membaca langsung pengalaman kami.

Live as a single.

Ada waktu di mana selama beberapa bulan, saya tinggal sendiri. Di trimester pertama saat istri hamil anak pertama kami, istri saya kembali ke Indonesia - sampai kehamilan memasuki bulan ke-6 atau 7, baru kembali ke Jepang untuk melahirkan anak pertama kami di Jepang. Demikian juga saat kehamilan anak ke-2, kami memutuskan anak ke-2 ini dilahirkan di Indonesia. Jadi sejak kehamilan ke-2 bulan ke-3, istri tinggal di Indonesia dan baru kembali ke Jepang saat anak ke-2 berusia 3 bulan. Itu masa-masa saya tinggal sendiri, tanpa ditemani istri.

Kesepian? Iya. Saya orang yang introvert yang lebih menyukai kesendirian daripada keramaian. Membuat saya bisa berpikir dengan tajam dan fokus ketika saya sendiri. Namun tetap saja ada bagian dari diri saya yang memerlukan istri untuk di samping saya. Ketika berada di tempat yang baru, menemukan barang dengan harga murah, mencoba makanan baru yang ternyata enak (atau tidak enak), berhasil mengurus berkas2 kependudukan, pengalaman di dokter gigi, melihat kejadian unik di kereta dan hal lain-lain - saya berharap bisa menceritakan langsung, berinteraksi dan melihat reaksi istri saya. Tapi tidak bisa karena sepulang dari Lab, hanya ada saya di apartemen. Tidak bisa lagi mendengarkan cerita-cerita pengalaman heroik istri "menjelajah" daerah-daerah seputar apartemen dengan sepeda, eksperimen meracik masakan Indonesia dengan bahan baku Jepang, penemuan toko 100 yen yang super lengkap... semua itu tiba-tiba hilang saat istri di Indonesia. 

Bahwa saya bisa spend waktu untuk research dengan lebih banyak, iya. Tapi sisi interaksi dengan istri hilang.

Mana yang lebih baik? Thousand times I'd say live together with my wife is the best. 

Foto di atas adalah foto istri dan anak saya tepat di samping Jokowi saat Jokowi melakukan kunjungan ke Jepang tahun 2015. Mana saya? Ya yang memfoto, karena saya tidak suka nebeng foto bareng orang terkenal. Nah, yang lainnya rapi berjas hitam, istri saya santai menggendong anak dengan jaket musim dingin - dan semua balita yang nampak di foto ini adalah anak-anak saya. Ini salah satu pengalaman as a family yang kelak bisa sama-sama kami ceritakan ke anak-cucu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Charis National Academy (2)

Mengurus Visa Korea di Jepang

Day care di Jepang dan keadilan sosial