Workshop termahal

Hari ini, Senin sampai nanti Kamis, tanggal 12 Maret, saya ada perjalanan dinas ke Tarakan. Tarakan  masuk di provinsi Kalimantan Utara, tidak ada penerbangan langsung dari Surabaya dan butuh 1x transit (Surabaya - Balikpapan, Balikpapan - Tarakan). Workshopnya adalah workshop trainIdQA. Workshop seputar jabatan saya sebagai Penjaminan Mutu.



Ini workshop terberat yang mesti dilewati. Bukan... Bukan berat karena materinya.

Berat karena harus meninggalkan seorang istri dengan 3 orang anak kecil-kecil yang perlu diurus.

Kebayang rempongnya waktu pagi hari pas harus menyiapkan semuanya seorang diri. Bangun pagi, 2 anak harus mandi, disiapkan baju sekolah, makan pagi, ditemani makan pagi sampai selesai, dianter ke sekolah. Kalau itu kelihatannya mudah, tambah 1 baby yang masih berusia 8 bulan yang bisa sewaktu-waktu menangis, berak, popok bocor. Potensi terjadi drama pagi hari juga besar. Bisa tiba-tiba si sulung rewel karena diganggu adiknya, atau sebaliknya. Jika kerempongan pagi hari sudah diselesaikan, babak rempong berikutnya dimulai saat menjelang pulang sekolah.

Penjemputan pulang sekolah dilakukan mulai jam 11.00, menjemput Megumi yang masih di TK-B.  Tentu menjemput harus bersama dengan si kecil baby 8 bulan, secara baby gak mungkin ditinggalkan sendirian di rumah, sementara si mama jemput ke sekolah. Eh, kelewatan... Mesti bawakan bekal juga makan siang untuk si sulung, naruh bekal di sekolah agar si sulung bisa makan siang di jam 11.45.  Bekal dapet dari mana? Ya disiapkan sebelum jemput.

Setelah jemput Megumi, siap-siap jemput si sulung Hide. Normalnya jam 13.30. Tapi hari Senin ada kegiatan basket, jadi baru jam 14.30 dijemput. Jemputnya juga rombongan. Semua anak yang ada di rumah diboyong. Lalu sampai di sekolah, diajak turun semuanya. Yang baby digendong, yang Megumi digandeng dan yang sulung ditelusuri di mana jejaknya agar bisa diajak pulang.

Rempong? Banget.

Setelah sampe di rumah, juga belum selesai. Kegiatan masih berlanjut. Menemani tidur siang (atau sore) di mana jam tidur masing-masing anak bisa berbeda-beda. Si bungsu tidur, si sulung masih aktif, sementara yang tengah siap-siap tidur, tapi gak tidur-tidur. Giliran si tengah sudah tidur, si bungsu bangun minta disusui. Si sulung mungkin masih asyik main-main gak mau tidur. Pas si sulung tidur, dalam waktu sekejap si tengah segera bangun dan si bayi dalam keadaan aktif.

Rempong? Banget.

Lanjut dengan menyiapkan makan malam. Menemani makan malam. Kasih bubur untuk baby. Membereskan makan malam. Menyiapkan pelajaran sekolah besok untuk si sulung, sambil menemani si tengah dan si bungsu main-main. Lanjut teruuuussss sampai jam tidur, jam 10 malam.

Berat di istri. Enak di saya. Saya cuman duduk dengerin ceramah, nyatet, bikin project action plan. Bangun pagi, sarapan, duduk, dengerin, makan, bikin project, makan malem, tidur. Kembali lagi bangun pagi, sarapan, ...

Keenakan yang harus dibayar dengan kerepotan istri di rumah. Dan itu, buat saya, mahal harganya. Kalau saja bukan karena jabatan saya di penjaminan mutu, saya tidak akan melakukannya. Tidak walaupun hanya sehari meninggalkan mereka.

Kalau anak-anak sudah lebih besar, mungkin akan lain bebannya ketika harus meninggalkan selama beberapa hari. Juga kalau ada nanny atau baby sitter yang mengurus mereka, bebannya juga akan lebih ringan. Apalagi seandainya saya masih single. Di luar kota seminggu atau sebulan, akan saya jalani dengan santai.

Workshop ini harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Harganya sudah terlalu mahal.








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Charis National Academy (2)

Mengurus Visa Korea di Jepang

Day care di Jepang dan keadilan sosial