Seminar Third Culture Kids

Third Culture Kids - istilah yang baru pertama kali saya dengar 1 bulan terakhir. Yang dimaksud dengan TCK adalah anak-anak yang tumbuh di lingkungan dengan budaya yang berbeda dengan budaya asli orang tuanya. Contoh konkritnya adalah anak yang memiliki orang tua Indonesia, lalu anak tersebut tumbuh di luar negeri (semisal Jepang). Anak-anak yang demikian akan membentuk budaya baru yang mengadopsi sebagian budaya orang tua dan sebagian lagi budaya di mana dia tumbuh.

Budaya baru yang terbentuk inilah yang disebut dengan Third Culture (budaya ketiga).
Si anak yang memiliki third culture ini disebut TCK.

Hari minggu kemarin, gereja kami mengadakan seminar tentang Third Culture Kids (TCK). Tujuannya tentu agar para orang tua (yang sebagian besar adalah orang Indonesia yang tinggal di Jepang dan memiliki anak yang sekolah dan (akan/sedang) menyerap budaya Jepang) dapat paham tentang kebutuhan khusus dari anak mereka.

Seminar ini menarik karena pembicaranya adalah ibu gembala kami - yang memiliki first hand experience dalam membesarkan kedua anaknya yang mengadopsi Third Culture. Ibu gembala kami memiliki dua anak lelaki yang saat ini baru lulus SMA dan satu lagi akan segera lulus SMA. First language kedua anaknya adalah Inggris dan Jepang.

Saya belajar banyak hal tentang TCK kemarin (yang nggak pernah terpikir sebelumnya). Kalau nggak lewat seminar ini, tentu akan banyak kesalahan yang akan kami lakukan (seandainya kami nanti membesarkan anak di luar negeri).

Contoh praktis:
Anak yang lahir atau tumbuh di luar negeri dengan bahasa yang berbeda, HARUS(!) dipaksa untuk menguasai bahasa asli orang tuanya. Bahasa asli orang tuanya HARUS menjadi first language dari si anak! Saya sendiri dulu  mikir, keren kalo anak saya punya first language bahasa Inggris. Kalo Bahasa Indonesia, nanti kan bisa sendiri. Keliatannya keren. Tapi akan jadi masalah ketika si anak sudah beranjak dewasa di mana first language si anak berbeda dengan first language orang tua.

Ambil contoh konkrit, misal seorang gadis yang beranjak dewasa memiliki first language Inggris dan first language orang tuanya bahasa Indonesia. Kemudian si anak bertanya, "Mom, I think I just got my first period... I don't know mom, but somehow I feel so embarrassed... What should I do?". Kalau si mama punya kemampuan Bahasa Inggris level wahid, tentu si mama akan dapat menenangkan putrinya dengan mudah, "Don't worry honey, it's normal... You will have it every month. All you have to do is ... bla bla bla...". Kalo si anak terus nanya, "kenapa sih kita harus ngalami haid tiap bulan?" - ato, "gimana sih ma, proses haid bisa sampe terjadi?". Repot kan kalau si mama nggak bisa njelaskan dengan clear karena first language-nya nggak sama dengan putrinya. Walopun bukan ahli biologi, tapi si mama akan bisa menjelaskan dengan jauuuh lebih baik dalam bahasa Indonesia ketimbang harus menjelaskan dalam Bahasa Inggris.

Demikian juga anak cowok. Saat masih kecil, tentu pertanyaan-nya masih sederhana dan orang tua masih dapat dengan mudah menjelaskan apa yang ditanyakan si anak... Pertanyaan, "Dad, where I come from?", tentu dapat dengan mudah dijelaskan, "You are created by God... bla bla bla..." (tuh kan, saya pikir gampang, tapi ternyata agak bingung juga menjawab pertanyaan tersebut dalam bahasa Inggris).

Ketika beranjak dewasa, pertanyaannya akan meluas ke ranah politik, ekonomi, keyakinan, atau mendiskusikan tentang datingnya dengan cewek lain, misal "Kenapa aku harus percaya Tuhan yang nggak bisa aku lihat?", "Aku suka sama si cewek itu, kalau menurut papa/mama gimana?", "Pa, aku pingin jadi astronot, enaknya ambil kuliah apa...?", dll.   Kalau orang tua nggak bisa nyaman menjelaskan dengan bahasa yang dimiliki si anak, tentu si anak akan stress, ngerasa bahwa jawaban orang tuanya ngambang - dan akibatnya si anak akan mencari informasi dari sumber lain yang bisa membuat dia lebih lega. Si orang tua juga akan stress karena ngerasa nggak bisa deliver message dengan baik.

Menentukan first language adalah keputusan orang tua. Sekali first language anak terbentuk, maka first language itu nggak bisa di-undo (dan akan menjadi milik si anak seumur hidupnya!).

Dulu saya nggak pernah mikir sejauh itu... Tapi sekarang jadi bisa memperkirakan bahwa ini adalah sesuatu yang memang serius dan harus benar-benar bijak untuk memutuskannya. Sama seperti first language yang kita punyai saat ini. Nggak peduli seberapa pinternya kita menguasai second language, kita tetap akan merasa lebih enak dan nyaman menjelaskan dalam first language kita.

Thank you buat ibu gembala yang sudah deliver seminarnya dengan baik dan menambah pengetahuan kami. Semoga segera menjadi kebijakan/hikmat saat kami mendidik anak).


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Charis National Academy (2)

Day care di Jepang dan keadilan sosial

Mengurus Visa Korea di Jepang