Seni mempertahankan pegawai

Semua yang saya tulis ini sebenarnya teoritis dan imajiner. Saya nggak punya perusahaan dan nggak punya pegawai... Jadi ya... (disclaimer section) bisa jadi saya salah. Bisa jadi nggak pas. Bisa jadi keliatan sok keminter padahal nggak tau apa-apa... bisa jadi muncul komentar, "nggak semudah itu...".

Anyway, di suatu perusahaan dengan jumlah pegawai lebih dari 50, pasti berlaku yang namanya sebaran normal Gaussian.

image credit: http://hyperphysics.phy-astr.gsu.edu/hbase/math/immath/gauds.gif

Ada pegawai yang kinerjanya sangat excellent, ada pegawai yang kinerjanya biasa saja (sekedar menjalankan tugas yang diberikan), ada pegawai yang kerjanya hanya menggerutu kalo diberi kerjaan. Kurva sebaran normal kualitas pegawai ini berlaku... Artinya jumlah pegawai dengan kinerja biasa saja akan menduduki persentase tertinggi - sedangkan pegawai yang ekstrem (punya kinerja excellent atau kinerja yang buruk) ada di sisi kiri dan kanan (jumlahnya lebih sedikit daripada pegawai dengan kinerja biasa saja). - Sebaran normal semacam ini juga berlaku di kelas (ada mahasiswa excellent, banyak mahasiswa yang biasa saja, dan ada pula mahasiswa yang tidak berada di dua kategori sebelumnya).

Pegawai yang excellent (yang jumlahnya nggak banyak itu), perlu dipertahankan agar perusahaan bisa memiliki kinerja yang baik dan nama perusahaan semakin dikenal (kalo perusahaannya belum terkenal). Otherwise, perusahaan akan jalan di tempat (kalo nggak malah jadi mundur).

Mempertahankan pegawai yang excellent (atau yang berpotensi untuk menjadi excellent) itu butuh "seni". Bukan ilmu, tapi seni. Simply karena pegawai itu manusia - bukan mesin. Punya kebutuhan personal yang berbeda antara satu dengan yang lain. Nggak bisa disamakan... Nggak bisa dibilang, "lah, si A diberikan perlakuan seperti dia udah loyal kok ma perusahaan... kalo gitu si B yang excellent ini jg akan kita perlakukan sama kayak si A agar bisa loyal." Belum tentu hasilnya sama. Si B bisa jadi harus diperlakukan yang bertolak belakang dengan si A agar bisa loyal. Ini yang saya bilang seni - nggak bisa di-samaratakan...

Gawatnya, pegawai seperti si B yang excellent ini, punya bargaining power yang besar yang dengan gampang bisa mengucapkan, "saya perlu ini... kalo perusahaan memang nggak mau (ato nggak bisa, ato keberatan) ya nggak papa sih... saya bisa resign daripada membenani perusahaan." - tentu kalau pihak perusahaan juga punya bargaining power, akan dengan mudah bilang, "resign-resign-o, karepmu... ora patheken aku duwe pegawai koyok kowe! sek akeh pegawai seng gelem kerjo ndek kene...", ato "onok kowe opo nggak onok kowe, perusahaan iki tetep mlaku... metu-metu o sak karepmu, aku golek seng liyane... weeeekkk!!!", ato "lek njaluk e macem2 yo golek o kerjo ndek mars kono lo, sopo eruh diterimo...", ato dengan singkat pihak perusahaan mengatakan, "kate metu? yo metu o..."

Ini yang saya bilang butuh seni untuk mempertahankan orang-orang terbaik di perusahaan. Sayang kan kalau pimpinan suatu perusahaan harus kehilangan orang-orang terbaiknya karena nggak paham seni mempertahankan pegawai. Kalo perusahaan memang perlu, si pegawai bisa dipertahankan dan terbukti bisa meningkatkan kinerja perusahaan, ya kenapa harus kehilangan? Perhatikan secara personal apa yang menjadi kebutuhannya. Pimpinan perlu peka terhadap apa yang menjadi passion dari si-pegawai - dan memastikan bahwa passion-nya tersebut bisa dimanifestasikan di perusahaan ini.

Atau skenario lain, mungkin pimpinan mengerti benar tentang seni mempertahankan pegawai yang excellent... tapi ada rule perusahaan yang mengganjal sehingga pegawai yang punya kinerja excellent tidak dapat dipenuhi kebutuhannya. Kalau memang berbenturan dengan rule perusahaan sehingga kebutuhan si pegawai tadi nggak bisa terpenuhi, maka kemungkinan perusahaan tersebut memang bukan tempat yang cocok untuk si pegawai...atau si pegawai yang memang nggak cocok kerja di lingkungan perusahaan tersebut...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Charis National Academy (2)

Mengurus Visa Korea di Jepang

Day care di Jepang dan keadilan sosial