Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2011

The X Factor Judges

Saya bukan TV junkie - yang menghabiskan puluhan jam per minggu di depan TV. Tapi ada beberapa TV show yang (sekarang) saya gemari. Bukan cuma suka, tapi really... really love. Untuk acara TV Indonesia, saya suka Stand up comedy. Ada beberapa comedian favorit saya yang joke-nya cerdas, nggak lebai atopun maksa. Ernest Prakasa dan Raditya Dika adalah beberapa di antaranya. Dulunya saya suka American Idol, tapi sejak juri eksentrik, Simon Cowel, nggak lagi jadi juri di American Idol, saya jadi kurang mengikuti American Idol. Daya tariknya jauh berkurang. Sebagai gantinya adalah The X Factor (US), yang mana si Simon is (finally) back. The show was broadcasted last September. It's just like what I've expected! Great show! Inti acaranya tetap singing competition, tapi The X Factor dikemas berbeda dengan American Idol. Siapapun boleh ikut. Pria, wanita, usia 17 tahun ato 71 tahun, solo, ato group. Nggak ada batasan sama sekali seperti di American Idol. Jurinya ada 4 orang, si &

Kehilangan muka

Kehilangan muka adalah istilah untuk malu. Entah kenapa bisa diistilahkan dengan "kehilangan muka". Mungkin ketika seseorang begitu malu terhadap terhadap suatu kejadian atau terhadap orang lain, dia jadi tidak berani menatap atau berhadapan face-to-face dengan orang yang bikin dia malu. Karena muka-nya tidak berani dihadapkan, maka dia disebut "kehilangan muka".... Whatever. Di sini, saya menemukan bahwa orang-orang Jepang, sangat... sangat... tidak mau menghilangkan muka orang lain - dan sebaliknya. Minggu lalu, saya mengantar istri ke dokter gigi. Dokternya masih (nampak) sangat muda dan ramah. Ketika menjalani perawatan, dia memberikan kepada kami secarik kertas dengan gambar dan tulisan kanji di dalamnya... Isinya kurang lebih menjelaskan bakteri-bakteri yang ada di dalam mulut/gigi dalam bahasa orang awam. Tahu bahwa kami adalah orang asing, beliau berusaha menjelaskan kondisi gigi secara perlahan-lahan dalam bahasa Jepang yang sederhana. Namun tetap saj

Indonesia negara berkembang, so what?

Dulu (entah saya masih SMP atau SMA), di pelajaran geografi, sering disebut-sebut bahwa Indonesia adalah negara berkembang, sedangkan Amerika adalah negara maju. Tentu, saat itu saya tidak bisa benar-benar membayangkan apa beda negara berkembang dengan negara maju. Dalam kerangka pikir seorang anak yang berusia belasan tahun, negara maju adalah negara yang teknologinya maju. Banyak mobil, banyak pabrik, banyak barang-barang canggih. Sekarang, saya tahu bedanya dengan lebih jelas (setelah merasakan hidup di negara maju). Salah satu beda yang menarik antara negara berkembang dengan negara maju adalah sistem ekonomi. Saya bukan ahli ekonomi. Tapi saya mengamati, di negara maju, sistem ekonomi sudah stabil, sehingga siapapun yang mau bekerja keras, maka standard kehidupannya akan meningkat. Dia dapat menikmati apa yang bisa dinikmati "orang kaya". Contoh, di Jepang banyak sekali lowongan kerja part-time. Di stasiun, majalah yang memuat ratusan lowongan kerja part-time (ataupu

Going to Chicago

Not a really good time for blogging, tough.... but I blog anyway. Hal apa yang menyenangkan bagi seorang saintis? Buat saya, hal yang menyenangkan ketika hasil penelitiannya diakui oleh komunitas ilmuwan di bidang yang sama. Dapet pengakuan bahwa memang hasil penelitian tersebut penting, berguna, dan perlu disebarkan agar dapat disitasi (atau dipakai sebagai landasan penelitian berikutnya). Dengan demikian, ilmu pengetahuan akan semakin berkembang dan semakin lengkap (walopun saya nggak yakin juga apa bisa manusia melengkapi seluruh ilmu pengetahuan yang ada). Nah, beberapa bulan lalu (iya, sudah agak lama), saya dapet konfirmasi bahwa hasil penelitian kami (jamak, saya nggak berani mengklaim hasil penelitian "saya") diterima dan kami diundang untuk mempresentasikan di RSNA 2011 annual meeting bulan November mendatang yang kali ini diadakan di Chicago. RSNA kepanjangan dari Radiology Society of North America, atau komunitas radiolog amerika (walopun ada kata radio, tapi m