Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2011

Bukan bintang pelajar

Ada anak-anak yang memang terlahir sebagai bintang pelajar. You know, sejak TK mereka sudah menunjukkan ke-"bintang-pelajaran"nya. Mampu menggunting dan melipat kertas dengan rapi, mampu menulis angka dan huruf dengan baik, makan tanpa cemot, baju nampak rapi, bisa mengeja abjad dengan jelas dsb. Pas SD mereka adalah anak-anak yang selalu mengerjakan pe-er dengan lengkap, mendengarkan guru dengan baik, rata-rata nilai ulangannya 8, 9 atau 10, selalu menjadi contoh bapak dan ibu guru ketika membahas bagaimana seorang siswa yang baik... Waktu SMP atau SMA mereka selalu berada di peringkat 5 besar, pe-ernya selalu jadi bahan contekan anak-anak lain, jawaban ulangan sering dijadikan kunci jawaban oleh bapak/ibu guru, dsb. Pas kuliah, dia seolah-olah tahu persis apa yang dimaui oleh si dosen, memberikan jawaban yang jelas, mengerjakan dan mengumpulkan tugas dengan tepat waktu (no matter semepet apapun deadline-nya), lulus dengan IPK di atas 3.5 lebih atau malah cumlaude... Pendekn

Ber-asosiasi

Ketika belajar bahasa (Jepang), saya menemukan bahwa bahasa adalah tentang asosiasi. Kalo kita baca/lihat suatu kata yang nggak kita ketahui, artinya dalam otak kita kata tersebut nggak punya asosiasi apapun. Akibatnya kita nggak ngerti. Misalnya, ada kata karakter 船. Bagi yang belom pernah belajar kanji (ato Hanzi) sama sekali, pasti nggak ada sebuah asosiasi pun yang muncul dalam pikirannya. Tapi, bagi yang udah pernah belajar karakter kanji (ato hanzi), paling nggak akan punya asosiasi, ada karakter angka "8" (八), ada karakter "mulut" (口) dan ada karakter "wadah" (舟). Arti karakter itu adalah "kapal/bahtera" (kemungkinan karakter ini diambil dari kisah banjir besar jaman Nabi Nuh, ketika hanya ada 8 orang dalam satu bahtera, nabi Nuh dan istrinya, dan 3 orang anaknya beserta istrinya). Di Jepang, karakter tersebut dibaca "fune". Waktu pertama dengar kata "fune" tidak ada asosiasi apapun dalam otak saya. Blank sama sekali. T

Makanya...

Kata "makanya..." sering diucapkan tidak pada tempatnya. Ma(ng)kanya, lah wong naruh hape kok sembarangan. Ilang kan sekarang. Ma(ng)kanya, kerja itu yang bener. Kalo udah diomelin sama bos kek gini baru tau rasa kan. Ma(ng)kanya, kalo disuruh makan ya mbok nurut. Kalo sakit gini, sapa juga yang repot. Ma(ng)kanya, belajaaaar yang rajin pas kuliah... ditolak perusahaan baru tau rasa. Ma(ng)kanya, jadi orang jangan bego-bego. Tuh, ditipu orang kan kalo bego. dan berbagai versi "ma(ng)kanya" yang lain yang lebih kejam. Logikanya, kalo orang sampe bilang "makanya..." ke kita (dalam berbagai versi), situasinya adalah kita tertimpa musibah, lalu diolok-olok dan disalah-salahkan karena yang mengolok-olok itu (merasa) paling bener sejagat raya... Dulu, saya sering (ato pernah?) dapet teguran versi "makanya" semacam ini. Entah dari orang tua, kakak, sahabat, teman ato bahkan orang asing. Kalo dapet "makanya" dari orang tua ato sodara, saya mas

'Ohana means family (1st year)

Gambar
'Ohana means family, family means nobody gets left behind. Or forgotten. (Lilo and Sticth, 2002) 3 Juli 2010 tahun lalu, kami menikah - untuk pertama kalinya. Masing-masing dari kami nggak punya pengalaman seperti apa menikah itu. Melihat (bagaimana kehidupan pernikahan kedua orang tua) sudah. Tapi mengalami sendiri seperti apa menjadi suami dan seperti apa menjadi istri, belum. Setiap hari menjadi hari pembelajaran. Menjadi hari untuk lebih menerima dan adjust. Senang menjalani kehidupan pernikahan? Ya, senang. Saya bahagia. Loh, bukannya dengan menikah saya jadi kehilangan (1) kebebasan untuk kelayapan ke mana pun yang saya mau dan pulang jam berapa pun yang saya suka? (2) kebebasan untuk memakai uang seenak udel dan memberi kepada siapapun yang saya mau? (3) kebebasan untuk melakukan apa pun yang saya suka, seperti internet-an seharian penuh, nonton film, menulis apapun, baca buku/belajar sampe dini hari dalam suasana tenang? Iya, hilang. Tapi sudah dig