Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2011

Bikin tempe

Gambar
Sejak meninggalkan Indonesia bulan September tahun lalu, saya nggak bisa makan tempe. Pertama, karena tempe nggak gampang didapetkan di Jepang. Kalopun ada, harganya mahal... Beberapa potong tempe di Jepang setara dengan harga 1 paket pizza hut ukuran large di Indonesia. Jadi, di Jepang, kalo di meja makan  setiap hari masakah dengan bahan utama tempe, berarti si empunya rumah boleh dibilang orang kaya. Kami agak nggak tega kalo mau beli tempe di Jepang (ya nggak tega belinya, ya nggak tega makannya). Hingga beberapa minggu lalu (yang bertepatan dengan musim dingin), saya kepikiran bikin tempe sendiri. Masak ya orang Indonesia nggak bisa bikin tempe. Saya sempet surfing di Internet, nyari info gimana cara bikin tempe. Inti pembuatan tempe rata-rata sama. Bahan utama adalah kedelai kering (bukan jagung). Kedelai harus ditelanjangi dan dibelah dua. Cara paling gampang untuk menelanjangi kedelai adalah direbus terlebih duu sampe empuk. Cara tradisional adalah dengan direndam di

Chicago Trip

Gambar
Chicago, 27 Nov - 4 Des 2011. Just a simple note about my first trip to the US. First of all, saya sengaja memilih tinggal di hotel yg jauuuh dr tempat seminar. Hari pertama tiba di bandara O'Hare, Chicago, saya memutuskan beli tiket kereta + bus terusan (Pass card) yang valid selama 7 hari seharga $28. Artinya saya bisa kemanapun di pelosok Chicago menggunakan tiket ini. Keputusan yang saya nobatkan sebagai keputusan terbaik sepanjang perjalanan saya di Amerika. Dari hotel ke tempat seminar, berjarak 2 jam (yg ternyata takes 3.5hrs on the first day)... Rutenya 2 kali pindah kereta dan 1 kali naik bus (plus jalan kaki beberapa puluh meter). Kok milih yang jauh gitu? Perjalanan yg jauh (saat naik kereta ato bus), membuat saya bisa lbh paham budaya org2 lokal (walopun artinya saya harus bangun jam 5 pagi untuk bisa tiba di tempat seminar tepat waktu). Pengalaman berinteraksi dgn org2 lokal, tidak akan bisa saya dapatkan seandainya jarak hotel ke tempat seminar bs ditempuh dgn

First fruit

Jadwal nge-lab itu sama kayak jam kerja, standardnya 8 jam sehari, 5 hari seminggu. Tapi bisa sibuk banget sehingga seringkali lebih dari 40 jam per minggu (you know, this is Japan, where hardworking is valued more than anything). Contoh kesibukan yang sampe bikin menyita waktu misalnya surfing internet, nyari2 film baru, facebook-an, twitter-an, ato nge-blog. Ah, nevermind, those activities do really time consuming... Ketika mau berangkat ke Jepang, saya selalu mikir kepingin bisa punya part-time job di Jepang. Simply karena beasiswa yang saya dapetkan nggak cukup... Nggak cukup buat beli mansion, BMW, dan bangun pabrik. That's why saya pingin dapet part-time job. Unfortunately, karena kesibukan di lab tadi, selama setahun di Jepang saya nggak (bisa) punya part-time job walopun banyak tawaran part-time diiklankan di majalah2. Mulai dari kerja yang butuh sedikit tenaga seperti di restoran, supermarket sampe kerjaan yang butuh tenaga besar seperti di konstruksi, pabrik, angkat2

Saintis vs artis

Suatu ketika, seorang peraih nobel Fisika dari Jepang, Prof. Koshiba, diinterview oleh NHK. Salah satu pertanyaan yang menarik adalah ketika beliau ditanya, mana yang lebih jenius, fisikawan Albert Eintein atau musisi Mozart. Setelah berpikir sejenak, Prof. Koshiba menjawab bahwa yang lebih jenius adalah musisi Mozart. Alasannya  Albert Einstein hanya merumuskan apa yang sudah ada di alam. Seandainya relativitas tidak ditemukan oleh Albert Einstein, maka somehow, fisikawan lainlah yang akan merumuskan... begitu menurutnya. Saya setuju. It's just a matter of time. Sama halnya dengan penemuan bola lampu oleh Thoma Alva Edison. Saya sering mendengar kelakar bahwa kalau tidak ada Thomas Alva Edison, maka dunia saat ini akan menjadi dunia yang gelap... Mungkin juga, tapi saya lebih cenderung pada kemungkinan bahwa orang lain lah yang akan menemukannya lampu pijar seandainya Edison menyerah pada kegagalannya. Berbeda dengan apa yang dilakukan oleh musisi Mozart yang mengkomposisi pul

Pak Dengklek dan mimpinya

Pak Dengklek dulu adalah peternak bebek. Bebeknya ratusan. Sekarang, Pak Dengklek bukan lagi peternak bebek. Tahun lalu, Pak Dengklek melanjutkan studinya di Jepang, dia mengambil riset tentang teknologi medis bebek (kelak, sekembalinya dari Jepang, Pak Dengklek berharap agar tidak banyak bebek yang mati sia2 karena peralatan medis yang tidak menunjang). Setahun di Jepang, Pak Dengklek merasa terkagum2 dgn budaya, lingkungan, kehidupan sosial, dan teknologi yang ada. Sebagian besar masyrakat yg ditemui Pak Dengklek selama ini benar2 ramah dan sopan. Kata2 seperti "maaf merepotkan", "tolong ya...", "terima kasih", "ah, tidak apa2" sangat sering terdengar dlm percakapan sehari2, bahkan untuk hal yg remeh-temeh. Bahasa tubuh menganggukkan kepala dan tersenyum tanda respek antar kolega juga menjadi bagian yg umum dlm kehidupan sehari2. Transportasi begitu teratur. Selama hidup di Jepang, Pak Dengklek hanya 2 kali mendengar suara klakson mobil