Pak Dengklek dan mimpinya


Pak Dengklek dulu adalah peternak bebek. Bebeknya ratusan. Sekarang, Pak Dengklek bukan lagi peternak bebek. Tahun lalu, Pak Dengklek melanjutkan studinya di Jepang, dia mengambil riset tentang teknologi medis bebek (kelak, sekembalinya dari Jepang, Pak Dengklek berharap agar tidak banyak bebek yang mati sia2 karena peralatan medis yang tidak menunjang).

Setahun di Jepang, Pak Dengklek merasa terkagum2 dgn budaya, lingkungan, kehidupan sosial, dan teknologi yang ada.

Sebagian besar masyrakat yg ditemui Pak Dengklek selama ini benar2 ramah dan sopan. Kata2 seperti "maaf merepotkan", "tolong ya...", "terima kasih", "ah, tidak apa2" sangat sering terdengar dlm percakapan sehari2, bahkan untuk hal yg remeh-temeh. Bahasa tubuh menganggukkan kepala dan tersenyum tanda respek antar kolega juga menjadi bagian yg umum dlm kehidupan sehari2.

Transportasi begitu teratur. Selama hidup di Jepang, Pak Dengklek hanya 2 kali mendengar suara klakson mobil dibunyikan. Kereta yang menjadi salah satu media transportasi utama, nyaris tidak pernah terlambat. Ketika tertulis kereta akan tiba pk 10.24, maka ketika menit sudah tertulis "24" (pada jam stasiun), kereta bisa dipastikan muncul. Kereta tidak akan muncul di menit "23" atau "25". Iya, the trains are neither earlier nor late even for a minute. Disiplin tepat waktu ini nampak terlihat di kehidupan sehari2 masyarakatnya.

Semangat untuk kerja keras dan tidak mudah menyerah juga jadi bagian dari masyarakatnya. Dan hebatnya, semangat ini tidak hanya berlaku untuk golongan tertentu. Jika ada orang yg sdh kaya, bukan berarti dia  berhenti kerja keras. Jika sudah dapat gelar profesor, bukan berarti terus gak ganbarimasu dlm meneliti dan menulis. Jika sudah jd pejabat ato dewan perwakilan rakyat, bukan berarti bisa males2an. Jika sudah disebut "sensei" (dokter, dosen, senior) bukan berarti main perintah semena2 sementara dia sendiri nggak kerja. Semangat kerja keras dan tidak mudah menyerah ditanamkan sejak di TK dan berlanjut sampe perguruan tinggi.

Tentu, semua hal2 positif yg dialami Pak Dengklek selama di Jepang, nantinya akan diterapkan sekembalinya Pak Dengklek ke kampung halamannya. Pak Dengklek ingin memajukan kampung halamannya agar menjadi kampung yang beradab. Selama ini kampung Pak Dengklek sering mendapat reputasi negatif, yang korupsi, yg masyarakatnya nggak disiplin, yg nggak tepat waktu, yg malas, yg lbh mementingkan kepentingan pribadi ato kelompoknya ketimbang kepentingan umum, yg hukumnya carut marut, dan sebagainya. Padahal, kampungnya sangaaaat kaya akan sumber daya alam. Tapi, tetap dalam kekayaannya, masih belum bisa semaju kampung-kampung tetangganya, in term of pendapatan per kapita. Padahal kampung2 tetangga tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah. Anyway, dalam semua hal positif dan negatif dari kampung halamannya, Pak Dengklek nggak malu mengakui bahwa dia berasal dari kampung halaman tersebut.

Malahan, dgn berbagai hal negatif itu, semakin mantaplah niat Pak Dengklek untuk bisa menerapkan ilmu yg didapatkan, serta menerapkan berbagai hal positif yg telah dipelajarinya selama di Jepang. Pasti kampungnya akan jadi lebih baik, pikir Pak Dengklek.

Tapi, tunggu dulu! Tiba2 Pak Dengklek ingat sesuatu.

Berapa banyak mereka yg juga sekolah di luar negeri, lulus lalu kembali ke kampung halamannya? Ratusan ribu kepala!  Bukannya mereka jg mengalami apa yg dialami pak Dengklek selama studi? Bukannya mereka tahu persis bagaimana nyamannya hidup ketika sistem ekonomi sudah stabil? Bukannya mereka jg mendapat gemblengan disiplin dan tepat waktu selama studi di sini? Bukannya mereka adalah orang2 pintar yang dididik lalu kembali ke kampung halamannya?

Tapi kenapa kampung halaman yg dipenuhi ratusan ribu lulusan luar negeri tetap jd kampung yang terbelakang? Yang masyarakatnya kacau? Yang banyak koruptor? Ke mana gerangan orang2 pintar itu? Kenapa tidak banyak pengaruh yang bisa diberikan oleh orang2 pintar lulusan luar negeri tersebut?

Mungkin... pikir Pak Dengklek, ...mereka meninggalkan kampung halaman itu untuk bekerja di kampung lain. Di kampung lain, orang2 pintar itu digaji lebih tinggi, diberikan berbagai fasilitas, dan  di-orang-kan. Setidaknya, mreka masih membawa identitas kampung halamannya. Mungkin orang2 pintar itu akhirnya menyerah dgn idealisme mereka karena tidak pernah bisa berhasil mengubah kondisi sekitarnya untuk menjadi lebih baik... akhirnya acuh, gak lagi peduli dengan apa yg terjadi. Yg lbh parah, org2 pintar lulusan luar negeri itu terbawa arus, dan mengikuti budaya buruk yg sudah begitu kuat mengakar.

Dalam idealismenya, Pak Dengklek menjadi kuatir.

(Minneapolis, Nov, 28 1.05pm, saat menunggu penerbangan transfer ke Chicago... Just a thought tentang issue yang dilontarkan seorang kolega tentang "lulusan luar negeri, yang akhirnya memutuskan untuk kerja di luar negeri")

Komentar

  1. Please don't give up yours ya Pak... Your fans are patiently and faithfully waiting here Pak... :)Yang menyerah kan banyak Pak, Bapak pasti akan tetep idealis... hohohoho maunya... SEMANGKAAAA!!!

    BalasHapus
  2. Iya bubu... nanti tak sampekan ke Pak Dengklek... Semoga Pak Dengklek tetep idealis. :)

    BalasHapus
  3. *menunggu Pak Dengklek, Ph.D balik lagi ke negara asalnya*

    BalasHapus
  4. Something that each of us can truly relate to: idealist vs realist!

    BalasHapus
  5. sepertinya pernah kenal nih dengan pak dengklek si pemelihara bebek... :D heheehhh...
    saya harap pak dengklek tidak menyerah untuk memajukan kampung halamannya... :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Charis National Academy (2)

Mengurus Visa Korea di Jepang

Day care di Jepang dan keadilan sosial