The X Factor Judges

Saya bukan TV junkie - yang menghabiskan puluhan jam per minggu di depan TV. Tapi ada beberapa TV show yang (sekarang) saya gemari. Bukan cuma suka, tapi really... really love.

Untuk acara TV Indonesia, saya suka Stand up comedy. Ada beberapa comedian favorit saya yang joke-nya cerdas, nggak lebai atopun maksa. Ernest Prakasa dan Raditya Dika adalah beberapa di antaranya.

Dulunya saya suka American Idol, tapi sejak juri eksentrik, Simon Cowel, nggak lagi jadi juri di American Idol, saya jadi kurang mengikuti American Idol. Daya tariknya jauh berkurang. Sebagai gantinya adalah The X Factor (US), yang mana si Simon is (finally) back. The show was broadcasted last September. It's just like what I've expected! Great show!

Inti acaranya tetap singing competition, tapi The X Factor dikemas berbeda dengan American Idol. Siapapun boleh ikut. Pria, wanita, usia 17 tahun ato 71 tahun, solo, ato group. Nggak ada batasan sama sekali seperti di American Idol. Jurinya ada 4 orang, si "L.A" Ried, Paula Abdul, Simon Cowel dan juri baru Nicole Scherzinger. Audisi dimulai di depan ke-4 juri dan ribuan penonton. Untuk dapat lolos ke babak berikutnya (boot camp), peserta audisi harus mendapatkan setidaknya 3 yes dari juri. Faktanya, nggak ada penyanyi yang hanya mendapatkan 2 yes (atau 1 yes). It is either 3-4yeses ato 4nos. Mutlak diterima atau mutlak ditolak. Definitely, para juri bener2 bisa spotting the talented one.

Setelah babak boot camp, peserta diseleksi lagi untuk masuk di babak "mentoring". Ke-empat juri akan "mementor" satu kategori. Simon mementor 8 peserta dalam kategori girls, Paula mementor 8 peserta dalam kategori group. L.A Ried mementor 8 peserta dalam boys dan si cantik Nicole mementor 8 peserta dalam kategori above 30 (untuk mereka yang telah berusia di atas 30).

Grand prize kontrak menyanyi 5 juta dolar adalah salah satu daya tarik acara ini. Kisah-kisah latar belakang pesertanya membuat acara ini menjadi semakin emosional. Go watch by yourself (at youtube) if want to watch a good quality TV show.

Anyway, saya ingin menjadi seperti para juri itu. Bukan pada bagian menilai kualitas suara karena jelas saya nggak kompeten. Tapi pada bagian bahwa para juri ini melakukan sesuatu yang sangat mereka nikmati. Saya yakin sekali mereka menikmati apa yang mereka lakukan dan bukan terpaksa. Kalo kita bener2 suka nyanyi, lalu mementor penyanyi2 muda yang sangat berbakat, melihat performa mereka, memberikan komentar, mengajarkan teknik2 menyanyi yang telah kita peroleh lewat pengalaman, tentu kegiatan itu  benar2 mengasyikkan.

Kalo kita punya passion di bidang desain atau seni, kemudian kita diminta "bekerja" untuk melihat desain, lukisan, atau karya2 seni dari seniman muda yang berbakat, mengajar mereka, mengasah mereka agar menjadi semakin cemerlang dalam bakat mereka, tentu it's reallllly fun!

Kalo kita seorang pengarang, bener2 suka nulis (dan baca), kemudian diminta untuk melakukan seleksi terhadap ratusan naskah, most likely dalam 1-2 halaman, kita bisa easily spotting whether someone is talented or not. Dan tentu, pekerjaan semacam itu, bisa amat... amat... kita nikmati.  It doesn't look like a hard work at all.

As for me, to be a researcher is my passion (as well as a lecturer and a writer). Berada di Jepang untuk studi, meneliti, kemudian mempublikasikan hasilnya kepada  publik lewat conference ato journal, bener2 saya nikmati... Moreover, setelah lulus, saya akan kembali untuk mengajar. Perfect! Setiap pagi ketika berangkat ke lab, saya tidak merasa sedang "bekerja".  Saya merasa sedang bersenang-senang. Mungkin ini yang dirasakan oleh juri-juri The X Factor itu. They're not working. They're having fun and they're highly paid for something that love to do.

Dan pertanyaan 5 juta dolar-nya adalah: what's your passion? And the most important is, are you living in that passion?


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Charis National Academy (2)

Mengurus Visa Korea di Jepang

Day care di Jepang dan keadilan sosial