Kehilangan muka

Kehilangan muka adalah istilah untuk malu.

Entah kenapa bisa diistilahkan dengan "kehilangan muka". Mungkin ketika seseorang begitu malu terhadap terhadap suatu kejadian atau terhadap orang lain, dia jadi tidak berani menatap atau berhadapan face-to-face dengan orang yang bikin dia malu. Karena muka-nya tidak berani dihadapkan, maka dia disebut "kehilangan muka".... Whatever.

Di sini, saya menemukan bahwa orang-orang Jepang, sangat... sangat... tidak mau menghilangkan muka orang lain - dan sebaliknya.

Minggu lalu, saya mengantar istri ke dokter gigi. Dokternya masih (nampak) sangat muda dan ramah. Ketika menjalani perawatan, dia memberikan kepada kami secarik kertas dengan gambar dan tulisan kanji di dalamnya... Isinya kurang lebih menjelaskan bakteri-bakteri yang ada di dalam mulut/gigi dalam bahasa orang awam. Tahu bahwa kami adalah orang asing, beliau berusaha menjelaskan kondisi gigi secara perlahan-lahan dalam bahasa Jepang yang sederhana. Namun tetap saja, kami "miss" beberapa istilah yang disebutkan oleh dokter gigi yang ramah itu. Dia berusaha menerjemahkan beberapa kata yang tidak kami mengerti dalam bahasa Inggris.

Sampai pada suatu waktu di tengah penjelasannya, dia bertanya, "Eigo daijobu?" (pakai bahasa Inggris oke?). Saya menjawab "haik, daijobu desu..." - sedikit kuatir kalau-kalau nanti kami kesulitan memahami bahasa Inggris dokter muda ini. Dalam pikiran saya, kalau memang dia bisa berbahasa Inggris, mengapa dari pertama dia harus repot-repot menjelaskan kepada kami dalam Bahasa Jepang?

Dia mulai menjelaskan dengan Bahasa Inggris perlahan-lahan, dengan grammar yang baik dan benar - seperti berbicara kepada seorang anak. Ketika dia melihat respon kami yang lebih paham Bahasa Inggris ketimbang Bahasa Jepang, maka tanpa sungkan lagi dia berbicara dalam Bahasa Inggris as if it were his first language! Bahasa Inggrisnya luar biasa bagus. Tidak ada aksen Jepang sama sekali. Saya menduga dia lulusan Amerika. Komunikasi kami menjadi sangat lancar, dan istri saya jadi tahu persis kondisi giginya.

Kenapa sejak pertama si dokter muda itu tidak menggunakan Bahasa Inggris kepada kami walaupun Bahasa Inggrisnya sangat fasih? Saya menduga... Pertama, dia rendah hati, tidak mau menyombongkan diri (seperti kebanyakan orang Jepang). Kedua dia tidak mau membuat kami kehilangan muka. Seandainya dia menggunakan Bahasa Inggris, lalu kami malah tambah nggak nyambung (karena nggak ngerti bahasa Inggris), maka keadaan jadi nggak nyaman bagi kami (si pasien). Si pasien akan merasa kehilangan muka... merasa malu karena tidak bisa berbahasa Inggris.

Ketika kami pulang, saya sempat memperhatikan beberapa sertifikasi dari si dokter muda, yang dipajang di ruang tunggunya.

Ada gelar Ph.D di belakang nama si dokter itu. Most probably, he graduated from the US University.


Komentar

  1. Wah, dokternya sopan & menghormati banget ya. I am learning smtg from this:)

    BalasHapus
  2. Pinter, sopan, baik, masih muda,... dan ganteng lagi. :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Charis National Academy (2)

Mengurus Visa Korea di Jepang

Day care di Jepang dan keadilan sosial