Selamat ulang tahun, Mrs. Swastika

Hari ini, 25 April 2011, istri saya berulang tahun. Di ulang tahunnya yang ke-26 ini, untuk pertama kalinya dia berulang tahun di Jepang, sekaligus pertama kalinya berulang tahun sebagai Mrs. Swastika.

Officially, kami sudah tinggal di Jepang selama 4 bulan. Kami baru saja menikah ketika berangkat ke Jepang. Waktu itu, teman-teman di Indonesia banyak yang bilang, "wah, enak ya... baru nikah langung honeymoon ke Jepang". Saya setengah setuju dengan term "Honeymoon" yang digunakan. Kalo ini honeymoon, setelah 1 atau 2 minggu, kami segera balik ke Indonesia. Menikmati kembali indahnya mentari Indonesia dan keramah-tamahan warganya. Menikmati kembali enaknya soto ayam dan pedesnya tempe penyet yang bisa dibeli dengan harga kurang dari 100yen (sementara kalo di Jepang, sudah untung kalo bisa dapet cabe doang dengan harga 100 yen).

Kami berencana tinggal di sini sampai 4 tahun ke depan. Dalam 4 tahun, fase honeymoon akan sudah lewat, dan digantikan dengan fase membangun keluarga yang sebenarnya (walaupun nanti tetap bisa di-sikon-kan untuk ber-honeymoon kembali).

Saya merasa baik juga, sebagai keluarga baru kami "terpaksa" berada di lingkungan yang benar2 baru, jauh dari orang tua, keluarga dan teman. Ketika ada perbedaan pendapat yang muncul, sulit bagi kami untuk "cari-supporter" agar perbedaan pendapat bisa ditengahi (atau dinasihati jika ternyata salah satu dari kami keliru). Seandainya di Indonesia, mungkin kami akan "mengadu" atau "cari-supporter" ke orang2 yang kami percayai lebih dewasa dan banyak pengalaman (seperti orang tua, kakak rohani atau ke konselor pernikahan) untuk mencari jalan tengah bagi kami.

Tapi di sini nggak ada supporter. Nggak ada yang meng-intervensi. Nggak ada (atau belum ada) kunjungan dari papa/mama mertua (yang biasanya bagi pihak cewek, kunjungan dari mama mertua bisa lebih menegangkan ketimbang ujian skripsi, yang kadang colotehan ringan mama mertua bisa menyakitkan hati si cewek). Satu-satunya "Supporter" yang paling bisa diandalkan adalah iman kami bahwa Tuhan yang memimpin untuk menunjukkan apa2 yang perlu kami masing2 perbaiki. Dan memang itulah yang terjadi.

Tuhan memang nggak seperti orang tua atau konselor pernikahan yang bisa langsung didengar nasihatnya ketika kami mengadu. Yang langsung memberikan saran A, saran B, mengoreksi saya atau istri secara langsung. Tapi Tuhan juga nggak ngompor2in kami ketika terjadi perbedaan pendapat. Nggak nggosipin kami ke tetangga sebelah ato menggunjingkan di arisan RT. Lewat banyak kejadian (yang kami nggak pernah ragu bahwa itu adalah cara Tuhan mengajar kami), kami belajar untuk membangun keluarga.

Tinggal di negara baru, dengan budaya baru, bahasa yang belum kami kuasai (dan guncangan2 akibat gempa yang masih terasa tiap hari), tentu banyak tantangannya. Banyak hal yang harus disesuaikan. Tapi justru lewat itu semua, kami bisa saling mendukung sebagai keluarga. Setiap hari, setelah seharian di lab (entah seharian ngeblog ato beneran belajar), saya punya tempat untuk pulang, called home. Tempat di mana kedatangan saya diharapkan sekaligus tempat di mana saya bisa mendapatkan kasih sayang yang tulus dari seorang istri.

Saya bersyukur untuk istri yang sudah ditetapkan Tuhan sebagai pendamping saya. Bersyukur untuk istri yang baik, berhikmat, dan dewasa.

Selamat ulang tahun, Mrs. Swastika. おめでとうございます。

Komentar

  1. kisah hidup e ko2 lak dibukukan pasti laris n jadi berkat buat bnyk orang.

    ngga nyoba publish buku di jepang ko??

    BalasHapus
  2. @Chris: hehe2... Orang Jepang mah rada2 anti sama bahasa Inggris... :)

    BalasHapus
  3. lho ya kalo publish di jepang pake bahasa jepang dong. hahaha.. wis lancar to? ngomong e?
    kasi daaaaah....

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Charis National Academy (2)

Mengurus Visa Korea di Jepang

Day care di Jepang dan keadilan sosial